7

298 30 1
                                    

   Saat kafe baru saja tutup, suara gaduh yang berasal dari dapur membuat hampir seluruh karyawan kafe termasuk juga Riyan yang belum pulang bergegas menghampiri sumber suara. Di lantai, Raesha tergolek pingsan. Tanpa berpikir dua kali, Riyan bergegas membopong tubuhnya yang sebelumnya ingin dibopong oleh beberapa karyawan. Tujuan Riyan ialah pusat kesehatan terdekat. Rasa panik menyergapnya.

Riyan. Laki-laki dari masa lalu Raesha. Tapi, kini dia sudah memiliki keluarga. Menikah muda, tepatnya. Dijodohkan oleh orangtuanya. Membuatnya harus melepaskan Raesha, dengan hati berat. Namun, perlahan tapi pasti, dia akhirnya bisa berdamai dengan keadaan. Mencoba menerima kehadiran sang istri di dalam hidupnya.

Kini, rasa sayangnya pada Raesha tidak lebih dari rasa ssayang seorang kakak terhadap adiknya.

Dia kuatir. Tentu saja. Bagaimanapun, Raesha juga karyawannya. Tanggung jawabnya. Terlebih, waktu itu Fariz memintanya untuk menjaga Raesha.

Setelah hampir satu jam lamanya, mata Raesha terlihat mengerjap pelan. Tangannya bergerak lemah menuju kepala. Pengelihatannya masih sedikit tidak jelas. Ringisan pelan terdengar dari bibirnya. Membuat seseorang yang nyaris terlelap kembali sadar.


"Echa? Jangan banyak gerak dulu!" Riyan langsung mencegah Raesha yang bergerak ingin bangkit dari baringnya.

"Bang Riyan?" Raesha bingung menatap Riyan. "Ini di mana?" tanyanya sambil memperhatikan keadaan sekitar.

"Rumah sakit. Tadi kamu pingsan. Aku khawatir dan langsung bawa kamu ke sini," jelas Riyan. Tatapan matanya pun turut menguatkan jika laki-laki itu benar mengkuatirkannya.

Tanpa bisa dicegah, ada rasa hangat menjalar di benak Raesha. Namun, getaran itu sudah tidak lagi dirasakannya. Sejak … setahun yang lalu. "Terima kasih. Maaf karena jadi merepotkan," ucapnya sedikit merasa tidak enak.

Riyan tersenyum sambil menggeleng. "Udah jadi tanggung jawab aku, kog," sahutnya santai.

Saat Raesha kembali ingin membuka suara, suara dering ponsel yang sangat dikenali Raesha berbunyi.

"Nih." Riyan menyerahkan ponsel milik Raesha kepada gadis itu. "Dari tadi Fariz nelepon kamu. Tapi, nggak berani buat kuangkat. Itu privacy, aku yakin," jelas Riyan kemudian, penuh pengertian.

Setelahnya, Riyan beranjak keluar. Dia teringat, jika sejak tadi belum makan. Sekaligus ingin memberi kabar kepada sang istri. Jangan sampai Alza salah paham dengan ini semua.

Di lain tempat, Fariz menghembuskan napas pelan. Di ujung sana, Raesha selalu saja menyahut. Membuatnya harus lebih bersabar. Kekasihnya itu memang sangat keras kepala. Jika terus seperti ini, mungkin weekend ini Fariz akan kembali pulang. Lebih tepatnya ingin memastikan kondisi Raesha baik-baik saja. Gadis itu perlu diawasi baru akan teratur makan tidurnya. Seringkali Raesha melalaikan kedua hal itu. Salah satu kebiasaan Raesha yang membuat Fariz disergap rasa kuatir kala jarak memisahkan mereka.

"Aku bakal nekad pulang malam ini, kalo kamu masih nggak mau denger omongan aku!" ancam Fariz. Nada suaranya terdengar tegas dan serius. Membuat Raesha di ujung sana mengerucutkan bibirnya, kesal.

'Iya-iya! Apaan deh, masa main ancam aja sih?!' gerutu Raesha.

Fariz tersenyum samar. "Kamu tau 'kan, kalau aku nggak pernah main-main sama perkataan aku?"

'Hm.'

"Habis ini pulang?" tanya Fariz.

'Hm.'

"Sama Bang Riyan?" tanya Fariz, lagi.

'Sama kang bakso.' seloroh Raesha.

Fariz terkekeh pelan. "Hati-hati, ya. Sampai rumah nanti langsung tidur. Jangan belajar, jangan beres-beres apalah itu, dan jangan main hp, paham?" Fariz mendikte satu per satu hal apa saja yang tidak boleh Raesha lakukan.

Surga Yang DiImpikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang