16

291 30 1
                                    

     Suasana baru di hari pertama pasca keluar dari rumah sakit. Raesha menatap wajah dari pantulan cermin. Resmi sudah dia menjadi beban di kehidupan orang lain.

Derit pintu terbuka menarik perhatiannya. Seorang wanita berkepala tiga, lengkap dengan seragam putihnya masuk sambil mengulas senyuman tipis. Di belakangnya, sang ibu menyusul. "Mulai sekarang, Suster Lisa yang akan merawat kamu," beritahu Maulina.

Raesha mengangguk saja. Memangnya dia bisa apa sekarang? Dengan kondisi mengenaskan seperti ini? Ia balas tersenyum, menyapa singkat Suster Lisa.

"Saya lagi datang bulan," ucap Raesha memberitahu. Ibunya sudah keluar, berangkat kerja.

Lisa mengangguk saja. Bukan suatu hal yang berat juga. "Mau mandi atau sarapan dulu?" tanya Lisa berbarengan dengan pintu kamar yang kembali terbuka.

Sosok Zoya masuk begitu saja. Masih mengenakan piyama berlengan pendek. "Mau mandi?" sapa sang adik berbasa-basi.

Raesha mengangguk. "Mandi aja dulu, Sus." Sekaligus ia menjawab pertanyaan Lisa.

"Nggak sekolah?" tanya Raesha pada Zoya yang sedang duduk santai di atas single sofa sambil menyalakan televisi.

"Nggak, guru ada acara," sahut Zoya yang lebih memusatkan perhatiannya pada sang kakak. Sorot matanya seketika sendu. Turut bersimpati atas keadaan kakaknya sekarang. Pasti ini sangat sulit bagi sang kakak, mengingat bagaimana sosok Raesha sebelum ini. Seorang gadis aktif yang selalu memiliki ide untuk mengisi waktu luangnya agar bermanfaat.

Dengan dibantu Lisa, Raesha menaiki kursi roda. "Mau ikut?" tanya Raesha menyentak lamunan Zoya.

Sebelah alis anak bungsu Maulana dan Maulina itu terangkat, lantas menggeleng sebagai jawaban. "Mau nonton aja," sahutnya yang kemudian kembali mengarahkan pandangan ke layar televisi.

Lisa mendorong kursi roda Raesha ke dalam kamar mandi, setelah sebelumnya mengambil pakaian ganti gadis itu.

Apa bedanya Raesha dengan orang lumpuh? Miris sekali, kalau dibayangkan.

🌻🌻🌻

   Malam mulai beranjak. Mengingatkan, kalau sudah saatnya menjemput istirahat. Jalanan kota kembali padat. Orang-orang berlomba untuk segera sampai di rumah. Entah itu untuk bertemu istri, anak, orangtua, teman sekamar, ataupun berikan kenyamanan kasur empuk pada raga yang serasa remuk-redam, akibat aktivitas yang dilakukan seharian.

Raesha berbaring menatap langit-langit kamar. Hembusan napas kasar yang entah ke berapa kalinya ia hembuskan 'lagi'. Dadanya sesak dengan mata memerah. Terbayang aktivitasnya sebelum ini. Subuh-subuh bangun untuk belajar beberapa saat sebelum mandi dan melaksanakan shalat subuh, jika tidak halangan. Paginya pergi ke kampus, bertemu teman-teman pun dosen. Sepulangnya dari kampus, langsung menuju kafe milik Fariz dan Alvin. Bekerja. Sepulang dari kerja, lanjut mengerjakan tugas dari dosen. Kadang juga harus izin, jika ada tugas kelompok. Tidak ada hari tanpa kegiatan di kamus seorang Raesha. Fariz saja sampai lelah sendiri melihat kekasihnya yang seolah tidak kenal kata lelah. Dan memang. Raesha tidak ingin mengenal apa itu kata lelah.

Ketukan di pintu menariknya kembali ke alam nyata. "Masuk!" serunya.

Pintu terbuka, Afif ternyata. Laki-laki itu tersenyum lebar, saat mata mereka bertubrukan. Masih sangat jelas di ingatan, bagaimana gosip tentang mereka berdua menyebar. Mengatakan kalau keduanya memiliki hubungan lebih dari sahabat. Padahal, perhatian lebih Afif tidak lebih karena dia yang mulai menganggap Raesha sebagai adiknya. Jiwa ingin melindungi hadir begitu saja, saat ia mengetahui sebuah kenyataan … lebih dulu dibanding Raesha.

Surga Yang DiImpikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang