8

317 30 6
                                    

   Setelah pertengkaran hebat hari itu, baik ibu maupun ayah Raesha juga Zoya tidak ada yang kembali ke rumah. Bahkan, ketika hari yang paling penting bagi Raesha, keduanya jangankan datang menghadiri, memberi kabar pun tidak. Membuat Raesha amat merasa sedih.

"Sayang …." Raesha tersadar dari lamunan ketika pundaknya di tepuk pelan oleh Fariz.

Ia tersenyum menatap sang kekasih yang hari ini menyempatkan hadir. Fariz mengenakan kemeja yang selaras dengan gaun yang Raesha kenakan. Pacarnya itu nampak rapi dan tentunya lebih tampan hari ini.

Hari yang Raesha nantikan akhirnya tiba. Wisuda kelulusan SMA. Di sekolahnya, setiap tahun selalu menggelar acara seperti wisuda bagi murid kelas XII yang sudah lulus. Salah satu acara yang selalu dinanti-nanti oleh para murid.

"Cha, Kak! Sini, kalian berdua. Biar gue fotoin!" seru Risya sambil melambaikan tangannya.

Jika saja orangtua Raesha berkenan hadir meski sebentar, pasti hari ini akan lebih sempurna. Raesha selalu merasa iri dengan teman-temannya yang memiliki keluarga harmonis. Keluarga yang kaya akan curahan kasih dan sayang juga cinta. Dan Raesha selalu bertanya-tanya, kapan dia akan bisa merasakan apa yang teman-temannya rasakan.

"Echa!" Raesha yang tadinya sudah akan menghampiri Risya bersama Fariz, menghentikan langkah dan berbalik.

Di depannya, dua orang yang hampir memasuki setengah abad usianya tengah berjalan menuju mereka sambil tersenyum hangat. Bunda dan ayahnya Fariz. Keduanya mengenakan pakaian yang juga sama dengan yang Raesha dan Fariz kenakan. Hanya berbeda dari segi model saja.

Senyum Raesha ikut mengembang. "Bunda, Ayah?! Bunda sama Ayah dateng?" Raesha sebelumnya sangat tidak menyangka, jika orangtua dari kekasihnya itu akan menyempatkan diri untuk datang.

Lihatlah, bahkan ibu dan ayah Fariz lebih peduli terhadap Raesha dibanding orangtuanya sendiri. Sungguh sangat miris.

"Dateng, dong! Rugi kalo nggak dateng. Apalagi mantu Bunda pas dandan cantik begini," sahut Yasna yang air wajahnya terlihat sangat cerah.

Raesha reflek memeluk Bunda Yasna. Matanya berkaca-kaca. "Makasih banyak ya, Bun," lirihnya berbisik.

Yasna tersenyum dan mengusap punggung Raesha. "Sama-sama, sayang," sahutnya.

Fariz mengalihkan pandangannya. Tidak tega melihat Raesha yang sangat rapuh dalam ketegarannya. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh ibu dan ayahnya Raesha, sampai-sampai tidak hadir di hari penting anaknya?

"Wahh … kenapa jadi mengharu biru begini? Udah-udah. Nanti riasan kamu luntur lho, Cha." Fathan buka suara. Mencoba mencairkan suasana.

Raesha lalu melepas pelukan, mengerjapkan matanya sambil mendongak ke atas, mencoba menghalau air mata yang nyaris tumpah.

Ia menyengir menatap Fathan. "Hehe, iya Yah. Maaf, yaaa ...."

"Kita foto, yuk!" ajak Fariz tiba-tiba.

Jika Tuhan mengizinkan, Raesha berharap jika mereka lah yang akan menjadi keluarga kedua Raesha nanti. Nanti, jika takdir telah menyatakan hari di mana Raesha harus mengubah statusnya.

Namun, jika tidak. Biarkan mereka tetap menjadi keluarga Raesha. Menjadi orang-orang yang disayang dan menyayangi Raesha. Meski dengan keadaan yang telah berbeda dari sekarang.

Harap Raesha tidak banyak. Harapnya amat sederhana. Memiliki keluarga utuh yang harmonis.

🌻🌻🌻

   "Bunda sama Ayah nggak mau mampir ke rumah Echa dulu?" tanya Raesha saat di parkiran.

"Nggak sayang. Lain kali, deh. Soalnya, habis ini Bunda sama Ayah mau langsung ke rumah temennya Ayah kamu. Udah janjian tadi." Yasna menatap Raesha tidak enak.

Surga Yang DiImpikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang