10

369 33 5
                                    

     Tiga kali ketukan palu hakim menandakan, jika Maulana dan Maulina resmi sudah tidak memiliki ikatan apapun, selain orangtua dari Raesha dan Zoya. Bersamaan dengan itu, hujan turun dari pelupuk mata seorang gadis. Dua orang dewasa yang sudah cukup lama membina rumah tangga itu malah tidak menitikkan air mata sedikit pun. Hanya Maulana yang terlihat sedikit sedih. Nampak dari sorot matanya. Meski tidak mengeluarkan air mata, tapi siapapun yang melihat sorotnya dengan jelas pasti akan langsung tahu, jika pria itu tengah merasakan sebuah kekecewaan yang membawanya pada sebuah kesedihan.

Tepat ketika palu diketuk, saat itu jugalah senyum secerah mentari benar-benar lenyap. Hanya ada mendung kesedihan di iris matanya. Tidak ada tawa pecah seperti biasanya. Tidak ada senyuman ramah yang selalu membuatnya jauh lebih cantik dan bersinar. Semuanya hilang, lenyap, bersama dengan kehancuran rumah tangga orangtuanya.

Risya dan Zila saling melempar tatapan penuh tanya. Bingung harus melakukan apalagi agar bisa membuat sahabat mereka kembali seperti dulu. Sejak hari di mana keputusan hakim telah bulat tiada bisa diganggu gugat, Risya dan Zila setia menemani Raesha. Mereka tentu tidak sampai hati meninggalkan Raesha sendirian dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Afif? Laki-laki itu menghilang begitu saja setelah hari kelulusan. Tidak ada yang tahu di mana dia berada. Bahkan, nomornya pun tidak bisa dihubungi. Sempat mengecek ke rumah Afif langsung, tapi kata tetangga, ibu dan Afif sudah lama pindah. Yang itu pun tidak tahu ke mana.

Fariz? Pacar Raesha itu sedang tidak bisa meninggalkan kafe dan kuliahnya. Dia harus mengejar deadline tugas-tugas yang diberikan dosen tanpa ampun. Ditambah keadaan kafe yang sedang ramai dengan pengunjung, membuat Fariz sibuk mencari dan menyeleksi calon karyawan baru.

Alvin sedang sakit. Tentu Fariz tidak ingin membuat sahabatnya itu semakin buruk keadaannya dengan mengurus urusan kafe.

Sedangkan Alya yang menjabat sebagai menejer, sedang mengambil cuti. Pulang kampung. Orangtuanya sakit.

Hal itulah yang membuat Fariz sedikit kelimpungan mengurus ini dan itu. Yang berakibat dirinya tidak bisa menemui Raesha dalam waktu dekat. Rasa bersalah tentu dia rasakan, tapi apa mau dikata.

Raesha memang tidak mempermasalahkannya. Dia malah merasa, jika selama ini telah banyak menyusahkan Fariz.

"Cha … makan, yaa. Lo dari kemarin belum makan, lhoo ...." Zila untuk yang ke sekian kalinya kembali membujuk Raesha agar mau memasukkan barang sesuap dua suap nasi ke dalam perutnya. Sejak kemarin, sahabatnya itu sama sekali tidak menyentuh nasi dan kawan-kawannya.

Risya memilih keluar, melakukan cara terakhir.

"Hallo, Kak. Ganggu nggak?" Dia membuka suara, mengawali percakapan.

"Ya, hallo. Nggak, kog. Ada apa, Sya?" Orang di seberang sana menyabut.

"Echa, Kak. Dari kemarin dia nggak mau makan nasi sama sekali," adu Risya akhirnya.

Terdengar helaan napas berat di ujung sana. Pasti laki-laki itu sangat mencemaskan keadaan Raesha. Risya menggeram dalam hati. Dia tahu, mungkin ini semua berat untuk Raesha, tapi bukan berarti gadis itu melalaikan kondisi kesehatannya.

"Insya Allah besok gue ke sana. Tolong jaga, Echa, ya."

Risya mengangguk. Kemudian menjawab segera saat menyadari, jika orang di seberang sana tidak bisa melihat anggukannya. Bodoh memang.

Telepon ditutup setelah sepatah dua patah kata berikutnya.

🌻🌻🌻

   Hingga malam hari berikutnya, Raesha terus duduk termenung dengan tatapan kosong di dekat jendela kamarnya. Kedua sahabatnya sudah mencak-mencak frustrasi karena tingkahnya itu.

Surga Yang DiImpikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang