9

301 30 1
                                    

     Dinginnya malam membuat rasa rindu yang Raesha rasakan mencekam kuat batinnya. Pekatnya langit tanpa hiasan bintang pun cahaya bulan, menambah kesepian pada jiwa yang mendamba sebuah kehadiran.

Raesha duduk di pelataran rumah. Memandang langit yang tengah menangis. Sudah hampir tengah malam, namun kantuk tak kunjung menyerang.

Sepi.

Sunyi.

Hampa.

Raesha lebih memilih mereka tetap bersama meski saling tidak acuh. Dibanding seperti sekarang. Berpisah dan meninggalkan jejak-jejak luka penuh kerinduan.

Meski Raesha akui, tidak ada kenangan indah yang bisa ia kenang selain senyuman mereka di figura yang terpajang rapi di dinding rumah. Itu satu-satunya hal yang bisa membuat angan Raesha tertarik kembali pada momen saat mereka mengabadikan foto tersebut. Momen yang sangat Raesha syukuri. Lebih terhadap pamannya. Jika saja pamannya saat itu tidak ngotot mengajak mereka untuk foto keluarga, mungkin tidak ada pajangan figura yang berisi potret sebuah keluarga yang tengah tersenyum. Seolah mengatakan jika mereka merupakan sebuah keluarga yang bahagia. Meski nyatanya, foto itu telah berhasil membohongi hampir semua orang yang melihatnya, termasuk orang yang meminta mereka berfoto.

Selain itu … mungkin ada. Saat Raesha ikut tersenyum ketika ibu dan ayahnya tertawa lepas bersama Zoya, adiknya. Tidak ada Raesha di dalamnya. Bagi mereka, mungkin Raesha hanya seorang figuran yang akan berperan jika diperlukan. Selebihnya, cukup mengamati apa yang terjadi.

Tidak mengapa. Melihat orang tersayangnya bahagia sudah lebih dari cukup bagi Raesha.

Setetes cairan bening lolos tanpa bisa dicegah. Raesha memejamkan matanya dan menarik napas dalam. Menghembuskannya perlahan kemudian. Terus seperti itu hingga hatinya merasa lebih baik. Merasa lebih luas. Setelah sesak kembali mencekam kala rindu mulai meruangi relung batin.

Nampaknya Tuhan teramat menyayanginya. Hingga terus menguji Raesha. Mungkin Raesha harus lebih berjuang untuk mendapatkan penghargaan tidak terkira dari Tuhan. Mendapatkan hadiah pada suatu masa yang telah ditentukan.

Seketika tubuh Raesha lemas setelah nyeri. Sudah biasa. Raganya kali ini kembali tidak bisa diajak bersandiwara. Bangkit, lantas masuk dan menuju ke kamarnya. Belum sempat tubuhnya berbaring di atas ranjang, lututnya tidak lagi mampu menopang beban tubuh. Lagi dan lagi, Raesha kalah. Ia tergugu menangis. Berkali-kali tangannya memukul dada. Berharap sesak yang sempat lenyap itu benar-benar pergi. Dan membiarkannya bernapas bebas.

Hujan di luar tiba-tiba deras. Meredam raungan kesakitan akan jiwa yang tertindas.

Layar ponsel Raesha menyala. Ada panggilan masuk dari Fariz. Sayang, gadis itu tidak menyadarinya. Membuat seseorang yang kini sudah berdiri di teras rumah Raesha bergerak gelisah. Baru saja ia sampai. Niatnya ingin memastikan apakah Raesha sudah pulang atau belum.

Saat tubuhnya bersandar di pintu, hampir saja dirinya terjerembab. Pintu tidak terkunci. Kemungkinan Raesha sudah pulang. Fariz langsung masuk sambil memanggil sang kekasih.

Di dalam kamarnya, sorot Raesha tertuju pada plastik putih di atas meja belajar. Plastik kecil itu berisi obat-obatnya. Setelah kembali dari klinik minggu kemarin, sama sekali tidak satu pun obat yang disentuhnya. Sebenarnya Raesha paling malas minum obat. Dia ke klinik hanya untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Tidak ada minum obat di dalam kamusnya, jika dirinya hanya demam biasa. Bagi Raesha, cukup istirahat saja sudah sembuh.

Raesha memejamkan matanya. Berusaha mengontrol diri. Namun, gagal. Perlahan, Raesha berjalan mendekati meja belajar. Gemetar, tangannya meraih obat-obatan itu. Isaknya belum juga usai.

Surga Yang DiImpikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang