"Iya bapak dan ibu, sekarang kita sudah ada di The Bund ya! Dari sini kita bisa liat Shanghai Tower! The Bund ini memisahkan kota Shanghai yang lama dengan yang baru. Kita akan kasih waktu pada bapak dan ibu untuk foto-foto di sini.." Shandy terus bicara selagi dia memandu grup turnya. Atensi para peserta tur kini terarah pada menara Shanghai yang bentuknya khas, bulat-bulat begitu.
Begitu pula halnya dengan Jiyan yang berdiri di bagian paling belakang. Dia menatap kagum ke bangunan yang berada di sekitarnya. Bangunan-bangunan itu bergaya Inggris, bu Shandy sempat berkata jika arsitektur dari bangunan itu memang terinspirasi dari bangunan-bangunan yang ada di Britania Raya sana.
Bangunan-bangunan indah yang memanjakan mata itu membuat Jiyan serasa tengah berada di kota London, kota yang sempat didatangi olehnya beberapa tahun lalu. Terlebih langit musim dingin di Shanghai yang sedikit kelabu, membuat suasana semakin mirip dengan di London sana. Dia sudah tidak fokus kala bu Shandy menjelaskan, Jiyan sibuk memandangi pemandangan kota yang begitu indah.
Begitu sudah diberi waktu untuk berfoto, Jiyan segera berjalan kesana kemari guna mengabadikan pemandangan dari The Bund dengan kamera yang dibawanya. Dia begitu sibuk mengabadikan foto, apapun itu yang menarik akan dipotretnya. Meski itu hanyalah sebuah daun yang gugur, atau langit yang kelabu, jika menurutnya itu menarik, maka dia akan membidik si objek dengan kameranya.
Jiyan menghentikan langkahnya saat dia merasakan ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari aplikasi Whatsapp, sebuah panggilan dari kontak yang dia beri nama 'Bapak Negara', alias Pak Basri, sang Ayah.
"Halo, Papi?" sapa Jiyan begitu dia mengangkat panggilannya.
"Deek! Udah mendarat belum sih?! Daritadi Papi chat kok gak dibales?!" Pak Basri langsung menghujani Jiyan dengan sederet omelannya.
"Udah daritadi, Pi. Sekarang adek lagi di The Bund nih. Lagi liatin Shanghai Tower. Papi pasti lagi main sama si Jeremy, 'kan?" tebak Jiyan, menyasar pada Jeremy, yaitu kucing kampung yang dipungut oleh sang Ayah dan kini menjadi peliharaan keluarga mereka. Jeremy, entah dari mana sang ayah memutuskan kucingnya dinamai Jeremy. Jiyan bilang, bahkan sang ayah memberi nama kucing lebih bagus dibanding namanya.
Dasar Pak Basri.
"Iya, Dek! Dek, kalo di sana ada baju kucing, nitip dong! Buat si Jeremy, nih! Kasian dia kedinginan, mana ujan terus! Papi kasih duit buat jalan ke Zara suruh beli baju sendiri dia gak mau!" cerocos sang ayah.
Jiyan hanya bisa memutar bola matanya. "Ya iyalah, Pi! Papi gimana, sih?! Suka lucu deh!"
"Hehehe, ya jelas papi harus lucu, makanya bunamu mau. Kalo papi gak lucu, nanti bunamu gak mau sama papi," kekeh sang ayah.
"Tuh nyadar, pi," jawab Jiyan asal.
"Yee! Kurang ajar ya kamu! Oiya, gimana Shanghai, Dek? Dingin gak?" tanya Pak Basri.
Jiyan menganggukkan kepalanya, kendati dia memahami jika ayahnya tidak mungkin melihat gesturnya. "Dingin bangeeet, Pi! Di sini katanya enam derajat, adek belum ngecek weather, sih. Cuma kata tour leadernya segitu!"
"Oh, dingin banget ya kayak di Bromo?"
"Dih! Papi aja gak pernah ke Bromo! Emang papi tau Bromo dinginnya kayak apa?" Jiyan mencebik. Terkadang, jokes yang dilontar oleh ayahnya sedikit ketinggalan zaman. Yah, maklum, referensi jokes yang didapat sang ayah mungkin berasal dari rekan sesama bapak-bapak yang juga jokesnya ketinggalan zaman.
Biar begitu, Jiyan sangat menyayangi sang ayah.
"Yaa, 'kan asal aja, Dek. Katanya sih Bromo dingin. Kapan-kapan ke Bromo yuk, Dek. Nanti kita naik kuda!"
KAMU SEDANG MEMBACA
seven days ; panwink✔
Fanfiction𝐜𝐚𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐦𝐬 𝐢𝐧 𝐬𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐲𝐬? Sebuah cerita yang mengisahkan hubungan antara seorang Jiyan Richardo Soewarna, penerus perusahaan asuransi dengan wajah baby face yang kerap dipertanyakan usia aslinya, dengan Edwin Tan...