[Baoshan District, Shanghai]
"H-haah! Astaga!"
Jiyan mendudukkan diri di ranjangnya. Nafasnya berantakan. Dia tengah berusaha untuk mengatur nafasnya supaya berjalan dengan normal lagi. Kepalanya terasa berputar-putar. Dia baru saja mengalami sebuah mimpi buruk yang mengganggu tidurnya hinga terbangun dengan keadaan gelisah begini.
"Ah -sialan. Mimpi itu lagi," gumam Jiyan pelan.
Jiyan menatap dirinya sendiri. Dia masih menggunakan mantel dingin berwarna cokelat yang digunakannya sejak pagi tadi. Bahkan, masih lengkap dengan sepatu boots Timberland yang terpasang di kedua kakinya. Dia menatap koper nyentriknya yang tergeletak tak berdaya di atas lantai.
"Anjir, gue ketiduran ini ceritanya?!"
Jiyan merogoh nakas yang ada di samping ranjangnya. Meraih ponselnya guna melihat jam berapa sekarang.
"Jam dua malem...," gumam Jiyan, pelan.
Dia lantas meraih sebotol air minum yang terletak di atas meja. Air minum yang disediakan oleh hotel itu langsung ditenggaknya begitu saja. Jiyan mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia di sana kemudian. Masih berusaha untuk mengatur nafasnya yang tak teratur.
"Kenapa gue harus nginget cerita pas gue diputusin Edwin, sih...," Jiyan mengacak rambutnya sendiri.
Lelaki manis itu menarik nafas dalam-dalam. Dia tidak ingin mengingat-ingat lagi kisah kelam yang terjadi setahun lalu. Di mana dia jatuh dalam kesedihan mendalam ketika cintanya dengan Edwin kandas di tengah jalan.
"Gara-gara gue liat si kunyuk, sih! Inget lagi 'kan! Ah!"
Kruuk...
Jiyan merasa perutnya berbunyi. Lagi, dia menghela nafas dalam-dalam. "Ah, laper... gue kok bego ya gak bawa mie gelas...," Jiyan mengacak-acak rambutnya.
Si mungil itu lantas melongok ke luar jendela yang sengaja di buka. Musim dingin menyebabkan pendingin ruangan di hotel tidak dinyalakan, dan pihak hotel akan membuka sedikit jendela kamar hotel mereka, sebab biasanya, tamu dari negara asing akan merasa pengap begitu dia memasuki kamar.
Sekiranya, itu yang dikatakan oleh bu Shandy sebelum check in tadi.
"Oh, ada Family Mart! Masih buka, tuh! Gila, 24 jam, keren juga kaya Indoapril deket rumah!" kekeh Jiyan, yang kemudian segera mengambil dompetnya yang berada di dalam tas, dia hendak pergi ke minimarket guna mencari bahan makanan yang sekiranya bisa dia makan. Mungkin saja dia akan membeli banyak mie cup untuk persediaannya selama beberapa hari ke depan.
Yah, jika makan malam dan makan siangnya tidak dia sentuh, Jiyan bisa kelaparan di malam hari, dan itu bahaya, maagnya bisa kambuh. Dia tidak ingin di perjalanannya yang masih dia harapkan akan berjalan dengan lancar ini, dia harus jatuh sakit akibat tidak mengonsumsi makanan yang cukup untuk tubuhnya.
Klek-
"Ey, mau ke mana?"
Jiyan menoleh. Matanya kembali membulat begitu melihat Edwin tengah berdiri di sebelahnya. Lelaki itu baru saja menutup pintu kamarnya, sama seperti yang dia lakukan sekarang. Otaknya berusaha mencerna, bagaimana bisa kamar Edwin ada di sebelah kamarnya juga?!
"Bukan urusan lo," jawab Jiyan sekenanya. Dia enggan menanggapi Edwin, lelaki itu lantas mengantongi dompetnya dan lekas berjalan menuju lift yang akan membawanya turun. Dia bisa mendengar derap kaki yang berasal dari belakangnya. Dari langkahnya, dia bahkan sudah tahu jika itu adalah langkah kaki milik Edwin.
KAMU SEDANG MEMBACA
seven days ; panwink✔
Fanfiction𝐜𝐚𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐦𝐬 𝐢𝐧 𝐬𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐲𝐬? Sebuah cerita yang mengisahkan hubungan antara seorang Jiyan Richardo Soewarna, penerus perusahaan asuransi dengan wajah baby face yang kerap dipertanyakan usia aslinya, dengan Edwin Tan...