[Baoshan District, Shanghai, China]
Malam itu cukup dingin di kota Shanghai. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Rombongan mereka yang memilih untuk tidak ikut merayakan tahun baru di kawasan The Bund baru saja kembali pada pukul sembilan, sekiranya sejam yang lalu. Begitu pula halnya dengan Edwin dan Jiyan yang memilih untuk kembali ke hotel.
Ini adalah malam terakhir mereka di China, sebelum besok bertolak kembali ke Jakarta.
Lelaki itu tengah duduk di sofa yang ada di kamarnya. Dengan sebuah kotak beludru kecil berwarna hitam yang sejak tadi dia genggam. Edwin nampak gelisah sekarang. Pasalnya, ternyata dia salah menghitung. Ini adalah hari ketujuhnya, mengingat hari pertama dimulai ketika mereka berangkat kemari.
Dan dia belum mengatakan apapun!
Bagaimana ini? Ini dua jam menuju tahun baru -ah tidak, dua jam menjelang waktunya habis, dan dia belum menyatakan perasaan sekaligus niatnya untuk menikahi Jiyan! Dan dia tidak mengerti apa yang harus dia lakukan untuk menciptakan sebuah lamaran romantis yang akan membuat Jiyan luluh padanya...
Ah, persetan dengan lamaran romantis atau bagaimana! Yang penting dia harus mengajak Jiyan menikah! Urusan hal romantis, dia yakin dia bisa melakukannya di Jakarta nanti! Dan dia berjanji untuk melakukan sebuah hal berbau romantis di Jakarta nanti. Mungkin semacam makan malam diiringi iringan saxophone, ditambah dengan lilin yang menyala di tengah meja, dan taburan kelopak bunga mawar merah...?
Edwin beranjak dari kursinya, dengan kotak yang kini dia simpan di saku celananya. Dia harus mengajak Jiyan untuk pergi.
Tok! Tok! Tok!
Edwin mengetuk pintu kamar Jiyan. Jantungnya berdegup dengan lebih kencang sekarang. Dia ini begitu bodoh dalam urusan percintaan. Dalam benaknya hanya ada anatomi tubuh manusia, bermacam-macam penyakit, dan lain sebagainya. Tidak ada kalimat romansa seperti sajak cinta yang dia pikirkan. Dia bukanlah seorang pujangga, dan tidak mengerti bagaimana caranya untuk menjadi seorang pujangga.
Lelaki itu membulatkan matanya begitu melihat Jiyan yang muncul dari balik pintu kamarnya. Si mungil itu keluar dengan sebuah kaus dengan ukuran kebesaran yang menutupi sebagian pahanya yang membuatnya nampak tidak memakai celana. Dia mengadahkan kepalanya, menatap Edwin dengan tatapan bingung.
"Kenapa, Edwin?"
Edwin berdeham sejenak. "Ayo... beli odeng?"
Jiyan mengerjapkan matanya sejenak. Sedangkan Edwin, dia merutuk di dalam hati. Bagaimana bisa dia merapalkan kalimat itu?! Kalimat macam apa itu?! Mengajak untuk membeli odeng?! Oh ayolah, Edwin! Biarkan otakmu bekerja sedikit lebih baik!
"Odeng? Hng, boleh. Jiyan juga lagi laper, hehehe. Bentar, Jiyan ganti baju dulu," ucapnya dengan kekehan.
Oh, berhasil?
Edwin berdiri mematung di depan pintu kamar Jiyan, menunggu Jiyan yang kini mengganti celananya dengan celana panjang dan menyambar mantel dinginnya. Tidak butuh waktu lama sampai Jiyan kembali membuka pintu kamarnya dan menyapa Edwin yang masih berdiri di sana.
"Ayo, Edwin! Jiyan mau odeng yang bentuknya kayak usus ayam itu!"
Edwin terkekeh pelan mendengar perkataan Jiyan. Dia lantas menggamit jemari Jiyan, mengajaknya untuk berjalan bersama. Jiyan yang mendapat perlakuan begitu hanya bisa tersipu, dia bisa merasakan pipinya yang memanas.
Jantung Edwin kini berdetak jauh lebih cepat. Edwin benar-benar sedang memutar otaknya, kalimat seperti apa yang harus dia gunakan pada Jiyan? Kalimat yang bagaimana yang bisa membuat Jiyan kembali dalam pelukannya? Puisi milik siapa yang harus disontek olehnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
seven days ; panwink✔
Fanfiction𝐜𝐚𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐦𝐬 𝐢𝐧 𝐬𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐲𝐬? Sebuah cerita yang mengisahkan hubungan antara seorang Jiyan Richardo Soewarna, penerus perusahaan asuransi dengan wajah baby face yang kerap dipertanyakan usia aslinya, dengan Edwin Tan...