5 : Shouldn't Be

597 105 110
                                    

     [Thames Town, Songjiang Qu, Shanghai]

      Pernahkah kalian merasa sangat lega, seakan tengah menemukan telaga di tengah padang pasir yang sangat panas?

     Pernahkah kalian merasa sangat damai, layaknya telah terbebas dari segala tuntutan yang mengikat diri?

     Sepertinya, kalian semua pernah merasakan hal seperti itu.

      Dan hal itu tengah terjadi pada Jiyan sekarang. Jiyan yang tengah berdiri di trotoar Thames Town, Songjiang Qu, Shanghai itu tengah merasa damai yang amat sangat kala tatapnya bertukar dengan tatap Edwin yang berdiri di depannya. Edwin tengah tersenyum lebar padanya, dengan kekehan kecil yang terdengar darinya.

      Jiyan tak lagi pernah merasa se-damai ini usai hubungannya dengan Edwin kandas di tengah jalan. Dan ini kali pertama dia kembali merasa damai, lega yang begitu lega, tentram yang sangat tentram, kala netranya menangkap ulas senyuman Edwin yang nampak begitu tulus.

     Nampak seperti pertama kalinya mereka bertemu.

     Jiyan rindu.

     Jujur, Jiyan sangat merindu.

     "Jiyan? Hey, kok bengong?"

     Suara Edwin membuyarkan lamunan Jiyan. Si manis itu mengangkat kepalanya, lantas dia kembali menatap Edwin dengan tatapan sedikit sendu, membuat Edwin yang semula menyunggingkan senyumannya mulai terdiam. Kembali ke raut wajahnya semula yang sedikit datar tanpa ulasan senyum.

     "Jiyan, are you okay?"

     Edwin mengambil langkah maju, mendekati Jiyan yang masih menatap Edwin dengan ranum terkancing rapat, dengan tatapan yang berubah jadi sendu mendadak. Edwin menghampiri Jiyan yang masih terdiam mematung menatapnya, telapak tangannya bergerak untuk menepuk pelan pucuk kepala Jiyan.

     "Jiyan, kamu gapapa?"

     Jiyan masih terdiam. Pikirannya berkecamuk. Lintasan ingatan tentang momennya bersama Edwin kembali bergerak mengelilingi otaknya. Dia kembali teringat bagaimana manisnya sikap Edwin kala tengah bersama dengannya dahulu. Jiyan masuk ke dalam bagian dirinya yang galau.

     "Ji?"

      Netra yang penuh dengan kemerlip itu menatap Edwin lekat. Sepasang mata bola yang selalu berhasil menarik dirinya ke dalam diri Jiyan itu tengah menatapnya, lagi. Dengan tatapan sendu yang terakhir kali dilihatnya di pagi hari sebelum Jiyan mendaratkan sebuah tinju di pipi kanannya.

     Jiyan lantas menunduk, mengalihkan pandangnya kemudian.

     "Sori, sori. Ada pikiran aneh. Nih, bantal lo, 'kan? Thanks, ya. Tapi lain kali gak usah pinjemin ke gue, mending lo pake sendiri. Syalnya juga. Bau om-om banget soalnya," tukas Jiyan, yang lantas menjejalkan syal sekaligus bantal leher milik Edwin ke tangan si tinggi, sebelum si manis melengos pergi meninggalkannya duluan.

     Meninggalkan Edwin yang masih terpaku di tempatnya, menangkap punggung Jiyan yang kian menjauh, menyusul rombongan tur yang sudah berjalan lebih dulu.

     Edwin terdiam, menatap dua benda yang kini berada di tangannya.

     "Padahal, ini aroma parfum yang dulu kamu suka banget, Jiyan," gumam Edwin pelan sebelum lelaki itu kembali bergerak untuk menyusul Jiyan dan rombongannya yang lain. Jika dia tertinggal sendirian, maka akan merepotkan Ibu Shandy yang harus mencarinya.

     Edwin menarik nafasnya dalam-dalam usai dia memasukkan barang-barang tadi ke tas ransel yang digendong olehnya. Dia kembali teringat dengan tatapan Jiyan padanya barusan. Tatapan yang berhasil menyayat hatinya. Sebuah tatap penuh kesedihan, Edwin tahu akan itu, karena Edwin sudah paham betul tentang Jiyan.

seven days ; panwink✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang