[Wuxi Shi, China]
Suhu di kota Wuxi pada pagi itu mencapai nol derajat celsius. Hal yang wajar karena matahari belum menampakkan wujudnya pada dunia, sehingga itu menyebabkan suhu semakin dingin saja. Sebuah malam yang dingin di Wuxi berlalu begitu saja, hari kembali berubah menjadi pagi. Semua orang bersiap menjalani hari.
Matanya perlahan mengerjap pelan. Lekas menyesuaikan diri dengan intensitas cahaya yang ditangkap oleh retinanya. Perlahan dia memutuskan untuk bangkit dari posisi tidurnya, sebelum dia menoleh ke sampingnya, menemukan sebuah ranjang yang nampak berantakan. Seperti usai ditiduri oleh seseorang dan tidak dirapikan.
"K-kok kasurnya dua...?"
Dia merasakan pusing di kepalanya. Perlahan dia menyandarkan dirinya di headboard ranjang, bertumpu pada benda itu supaya dirinya tidak limbung. Otaknya masih berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam, sehingga dia bisa pusing begini.
Cklek!
Kepalanya lantas terangkat begitu dia mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Dari sana, keluar sosok tinggi yang tengah menggosok rambutnya sendiri dengan sebuah handuk dari hotel. Kelopak matanya lantas terbuka sepenuhnya begitu dia menangkap wajah dari figur yang ada di depannya ini.
"E-Edwin?!"
Yang dirapalkan namanya itu mengangkat kepalanya. Lantas, dia menatap Jiyan yang tengah menatapnya dengan tatapan terkejut. Edwin menautkan alisnya, sebelum dia membuka bibirnya untuk membalas sahutan Jiyan. "Hm? Kenapa, Jiyan?"
"K-kok ada di sini?!"
Edwin terkekeh pelan. Jiyan pasti lupa dengan apa yang terjadi semalam. Lelaki itu lantas mengambil langkah maju, mendekati Jiyan yang masih duduk di atas ranjangnya. Jiyan refleks mundur, di kala Edwin semakin maju. Edwin maju, Jiyan mundur. Terus begitu hingga akhirnya Jiyan terpojokkan oleh Edwin di headboard ranjangnya, dan dia tidak bisa mundur lagi.
"M-mau ngapain?!"
Edwin hanya diam. Dia semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Jiyan. Membuat Jiyan semakin merapatkan dirinya ke headboard ranjang kala wajah Edwin benar-benar berada di depan wajahnya. Hingga Jiyan mampu merasakan hembusan nafas Edwin yang kini menerpa wajahnya.
Wajah Jiyan mulai memerah sekarang. Dia memejamkan matanya, refleks.
Hal itu ditangkap oleh netra Edwin, membuat lelaki yang lebih dewasa dibandingkan dirinya itu hendak tertawa, namun dia menahannya. Edwin lantas membuka plaster penurun demam yang semalam sempat ditempelnya di kening Jiyan, kemudian menempelkan punggung tangannya di kening Jiyan, memeriksa suhu tubuh Jiyan, lalu membandingkannya dengan suhu tubuhnya sendiri.
Syukurlah. Suhu tubuh Jiyan sudah turun.
"Syukurlah, badanmu udah gak demam lagi," ucap Edwin, masih berhadapan dengan wajah Jiyan. Jiyan perlahan membuka kelopak matanya perlahan, menatap wajah Edwin yang ada di depannya.
"Kamu gak inget semalem kenapa?" tanya Edwin dengan nada rendah.
"K-kenapa?"
"Masa kamu gak inget, hm?" Edwin perlahan mengusap rambut Jiyan dengan lembut. Membuat Jiyan berusaha menggerakkan otaknya untuk berpikir, mengingat apa yang sekiranya terjadi semalam, penyebab mengapa Edwin tidur di kamarnya, apa yang terjadi di malam tadi...
"Pfft."
Edwin terkekeh pelan kala dia menangkap wajah Jiyan yang tengah berpikir keras. Dia mendudukkan diri di pinggiran ranjang Jiyan, menatap si manis itu dengan tatapan lekat. "Semalam, ada masalah sama pihak travel, jadinya kita harus sekamar. Terus, semalam kamu demam tinggi. Habis makan, kamu minum obat, terus bobo. Ga ada apa-apa, Jiyan."
KAMU SEDANG MEMBACA
seven days ; panwink✔
Fanfiction𝐜𝐚𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐦𝐬 𝐢𝐧 𝐬𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐲𝐬? Sebuah cerita yang mengisahkan hubungan antara seorang Jiyan Richardo Soewarna, penerus perusahaan asuransi dengan wajah baby face yang kerap dipertanyakan usia aslinya, dengan Edwin Tan...