"Jiyan, dengerin. Gak bakal ada yang marahin Edwin, Jiyan. Edwin kayak gini karena Edwin mau ngelindungin Jiyan. Edwin bakal jagain Jiyan biar Jiyan gak kenapa-kenapa, biar Jiyan gak sakit. Karena, Edwin sayang sama Jiyan..."
Ucapnya, final.
Jiyan lantas menatap wajah Edwin yang kini berada tepat di sampingnya. Jiyan menunduk, dengan bibir yang terkancingkan. Dia tidak mengerti, respon seperti apa yang harus dia berikan atas pernyataan Edwin barusan.
"Jiyan..."
Edwin merapal namanya. Membuatnya menoleh, menatap wajah Edwin yang kini berada beberapa sentimeter saja dari wajahnya.
"I-iya?"
"Jiyan sayang sama Edwin juga, gak?"
Jiyan membulatkan matanya, dia kembali terdiam. Sebelum pada akhirnya, dia menganggukkan kepalanya. Mengiyakan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh Edwin barusan.
Edwin lantas tersenyum lebar. Dia semakin mendekati wajah Jiyan, membuat Jiyan gugup dibuatnya. Wajahnya memerah, bisa dia rasakan wajahnya mulai memanas kala Edwin semakin beringsut mendekat.
"Jiyan, would you let me kiss you...?"
Jiyan kembali membulatkan matanya. Dia mengangguk kemudian. Memberi izin pada Edwin untuk menciumnya.
Chu-
Brakk!
"Aduh...." Jiyan mengusap kepalanya sendiri yang terantuk nakas. Masih dengan sedikit mengaduh dia berusaha bangkit dari posisinya yang jatuh dari ranjang, dengan guling yang berada di dekapannya.
".... Mimpi?" gumamnya, pelan.
"KENAPA BISA-BISANYA GUE MIMPI MAU DICIUM EDWIN?!?!" Jiyan lantas melempar gulingnya begitu saja hingga menghantam tembok. Dia mendesis, kesal! Rupanya, hal yang terasa amat nyata itu hanyalah mimpi!
"Ini pasti gara-gara gue kebanyakan mikirin omongan Edwin di Family Mart tadi, deh... Huhuhu Papii! Edwin kurang ajar main-mainin hati Dedeeek!" rutuk Jiyan kesal, sebelum dia kembali membenamkan wajahnya di bantal. Jiyan sebal, Jiyan marah! Bagaimana bisa dia memimpikan Edwin akan menciumnya?! Memalukan!
Semua gara-gara Edwin dan ucapannya!
Tidak bisa berbohong, usai perkataan Edwin di Family Mart tadi, Jiyan sering tenggelam dalam lamunannya sendiri. Dia masih mengingat betul bagaimana Edwin menyatakan jika dia menyayanginya.
Menyayangi sebagai apa? Sebagai adik?!
"Huhuhu, Papii! Kayaknya emang Jiyan dianggep adek doang sama Edwin... Dia 'kan udah punya Ci Shannon, ga mungkin dia sayang sama Jiyan sebagai pacar 'kan, Pi? Pasti dia sayang sama Jiyan sebatas adeknya doang..." Jiyan menyandarkan tubuhnya di ranjang.
"Edwin nyebeliin! Bikin gue gak bisa tidur ajaa! Huhuhu Papiii!" Jiyan memukul-mukul gulingnya sendiri.
Netranya lantas menatap jam yang ada di layar ponselnya. Jam satu malam. Dan kini perutnya terasa lapar. Dia ingin makan sesuatu, namun dia tidak punya makanan sama sekali di tasnya.
"Huhuhu, Dedek laper... mau mam..." gumam Jiyan begitu dia menggunakan mantel dinginnya. Jiyan mengambil dompetnya, mencabut kunci kamarnya sebelum dia memutuskan untuk keluar dari kamar.
Cklek!
"Mau kemana, den bagus?"
Jiyan menoleh. Menemukan Edwin yang baru saja menutup pintu kamarnya yang terletak di sampingnya. Jiyan menatap Edwin, lelaki itu nampak menggunakan mantel dinginnya. Apakah dia hendak pergi keluar juga?
KAMU SEDANG MEMBACA
seven days ; panwink✔
Fanfic𝐜𝐚𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐦𝐬 𝐢𝐧 𝐬𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐲𝐬? Sebuah cerita yang mengisahkan hubungan antara seorang Jiyan Richardo Soewarna, penerus perusahaan asuransi dengan wajah baby face yang kerap dipertanyakan usia aslinya, dengan Edwin Tan...