Sebuah jam besar yang berada di luar ruangan berdenting sebanyak sembilan kali. Menandakan jika sekarang adalah pukul sembilan malam. Seorang lelaki yang berparas manis itu melangkah memasuki kamarnya, kamarnya berdua dengan sang pasangan.
Pasangan?
Ya, pria bernama Jiyan Richardo Soewarna itu sudah resmi dinikahi oleh seorang Edwin Tanuwijaya beberapa bulan yang lalu. Dan kini, mereka masih tinggal di kediaman keluarga Soewarna, sementara mereka menunggu rumah pribadi mereka selesai dibangun. Pembangunannya memang memakan waktu yang cukup lama, mengingat Edwin dan Jiyan yang merancang rumah idaman mereka benar-benar memperhatikan setiap detail ornament yang mereka butuhkan, sehingga beberapa kali rancangannya mengalami revisi.
Sebenarnya mereka bisa saja tinggal di apartemen milik Edwin atau milik Jiyan, namun Pak Basri -alias Ayah dari Jiyan, mengatakan jika beliau belum ingin berhenti bertengkar dengan Jiyan.
Ah, bilang saja Bapak belum mau ditinggal oleh Jiyan.
Edwin tidak masalah dengan hal itu. Dia sebagai seseorang yang bekerja di Departemen Bedah dan harus selalu sigap kapan pun, sejujurnya tidak tega untuk meninggalkan Jiyan sendirian di kediaman mereka. Apalagi, di musim hujan begini. Petir yang menyambar-nyambar di malam hari dan bunyi tetesan hujan yang berjujai ribut tentu akan membuat Jiyan amat ketakutan, dan semua itu akan lebih baik jika Jiyan berada di tempat yang ramai, seperti rumahnya, yang selalu ramai dengan suara dari Buna, Pak Basri, dan suara mengeong dari Jeremy yang ada di dalam rumah.
Kalian masih ingat siapa itu Jeremy, 'kan?
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas, kala terdengar suara yang cukup nyaring dari pagar depan rumah. Jiyan yang mulanya duduk di pinggiran ranjang kemudian berjalan menuju jendela, guna mengintip siapa yang datang. Usai dia menangkap mobil Edwin yang memasuki halaman rumah, si manis itu lekas pergi ke luar kamar, menuruni tangga yang bentuknya sedikit memutar layaknya di film-film kerajaan, sebelum dia membukakan pintu kayu untuk sang suami yang baru saja kembali dari pekerjaannya.
"Edwiin!" sapa Jiyan, begitu Edwin turun dari mobil.
Seulas senyuman lantas mengembang di wajah Edwin begitu dia menangkap Jiyan yang tengah berdiri di ambang pintu dengan piyama bercorak stroberi yang dibelikannya beberapa waktu lalu. Si mungil itu lantas berlari ke arah Edwin, langsung menubruknya untuk memeluk si tinggi itu.
"Sayang, aku belum cuci-cuci, masih banyak kuman..." Edwin mengusap pelan surai lembut Jiyan.
"Ndak papaaa!" Jiyan lantas terkekeh pelan, sebelum dia mengangkat kepalanya, guna menatap wajah Edwin yang lebih tinggi darinya.
"Edwin?! Kok keliatan lesu banget?! Sakit, ya?!" Jiyan lantas menempelkan punggung tangannya ke kening Edwin, memeriksa suhu tubuhnya.
"Hm... kecapean aja kayaknya..." ucap Edwin, menenangkan sang istr -ah bukan, suami.
"Nggak! Kamu tuh masuk angin! Ayo cepetan masuk! Aku kerokin!" Jiyan lantas menarik tangan Edwin untuk lekas masuk ke dalam rumah, menghindari angin malam yang bertiup dengan semakin kencang, membawa suhu yang lumayan dingin pula.
"Sayang, jangan dikerokin, aku gak masuk angin..." ucap Edwin sembari mengimbangi langkah Jiyan. Edwin itu tidak suka dikerokin. Karena menurutnya, itu menyakitkan. Perih, pokoknya, tidak mengenakkan, deh! Dia lebih baik istirahat seharian di rumah daripada harus dikerokin!
"Kamu tuh masuk angin! 'Kan udah aku bilang, gak usah ikut Papi mainan burung beo! Mana pagi-pagi, sama-sama gak pake baju kalian berdua! Udah Buna bilangin juga jangan gitu biar gak masuk angin, kalian berdua sama aja! Papi udah dikerokin tuh tadi sama Buna! Udah dikasih jahe anget juga! Kamu juga sekarang masuk angin! Bodo amat, aku kerokin! Biar cepet sembuh!" semprot Jiyan begitu keduanya berada di ruang keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
seven days ; panwink✔
Fanfiction𝐜𝐚𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐦𝐬 𝐢𝐧 𝐬𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐲𝐬? Sebuah cerita yang mengisahkan hubungan antara seorang Jiyan Richardo Soewarna, penerus perusahaan asuransi dengan wajah baby face yang kerap dipertanyakan usia aslinya, dengan Edwin Tan...