6 : A thought

503 105 115
                                    

        [Hangzhou, China]

        Kota Hangzhou malam itu terasa begitu dingin. Nampak angka nol derajat menghiasi layar ponsel bagian atas milik lelaki yang kini tengah duduk di sebuah sofa, dengan sebuah cawan berisi teh hijau hangat yang baru saja diseduhnya beberapa menit lalu. Lelaki itu duduk, menghadap jendela yang punya pemandangan lampu-lampu kemerlip indah yang menghiasi kota Hangzhou di malam hari.

      Dia menyesap pelan teh hijaunya.

      Netranya memandang lurus ke kaca jendela. Tak ada satu patah kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya terdiam, jemarinya sesekali mengusap bibir cawan yang digenggamnya. Seorang lelaki yang nampak rupawan dengan sweater hitam tebal yang melapisi tubuhnya itu nampak tengah berpikir akan sesuatu.

     Pikirannya mengawang. Ada sebuah kata yang membuat pikirannya kini mengawang jauh kala raganya terdiam menatapi indahnya kota Hangzhou di malam hari dari kaca jendela penginapan berbintang lima tersebut.

     Whisnu.

     Lelaki berparas jangkung itu tengah memenuhi pikirannya sekarang. Pikiran seorang Edwin Tanuwijaya, yang kini masih termenung menatapi kaca jendela. Whisnu, sumber dari segala pemikirannya sekarang. Whisnu Ardian Sanjaya, seorang eksekutif muda yang wajahnya cukup sering menghiasi majalah-majalah bisnis yang bisa ditemui di kantor-kantor yang berada di kota Jakarta.

     Lelaki yang juga sepupunya.

    Dia kembali teringat dengan pembicaraan yang didengarnya tadi pagi. Pembicaraan antara Jiyan dan Whisnu dari sambungan telepon. Meski dia hanya mendengar secara satu arah, namun Edwin mampu menafsirkan dengan tepat, apa yang tengah dibicarakan oleh sang sepupu dengan sang mantan kekasih.

    Sebuah pembicaraan yang cukup serius.

     Edwin menarik nafasnya dalam-dalam. Lantas ingatannya kembali tertarik jauh, ke dalam kejadian yang telah terjadi sekiranya satu tahun yang lalu. Kejadian yang membuatnya kehilangan separuh jiwanya.

     Jiyan.

     Kala itu, Edwin tengah berbincang dengan Whisnu. Sebuah perbincangan antara dua orang lelaki dewasa. Edwin yang memang sedikit bodoh dengan urusan percintaan itu mencurahkan perasaannya pada Whisnu. Satu kalimat yang menjadi focus sekaligus penyebab dari segala musabab adalah, Edwin menginginkan suatu hal yang baru. Suatu hal yang menyenangkan. Suatu hal yang bisa membahagiakan.

     Whisnu yang kala itu bersamanya lantas memberikan suatu usulan.

     Bagaimana jika Edwin melepaskan Jiyan, lalu berkencan dengan yang lain, supaya Edwin menemukan suatu suasana yang lebih baru?

     Begitu sekiranya inti dari usulan yang diberi Whisnu padanya. Edwin dengan tukas menolak. Dia tidak bisa melepas Jiyan untuk pergi dengan yang lain. Lagipula, jika dia harus mengencani yang lain, siapa? Dia tidak dekat dengan siapa-siapa dalam konteks romansa. Karena, hidupnya hanya berpusat pada Jiyan, kala itu.

     Whisnu, lelaki yang terkenal playboy itu tentu terkekeh sebagai reaksi. Lelaki itu tahu suatu fakta, jika Shannon, alias perempuan yang dulu sempat didekati olehnya, menyukai Edwin, meski itu dalam diam. Whisnu tidak bisa mendapatkan Shannon, karena Shannon tidak mempunyai perasaan apapun pada Whisnu.

     Sebuah sugesti lantas terbisik di telinga Edwin.

     Bagaimana jika kamu berkencan saja dengan Shannon? Berkencan selama empat tahun dengan orang yang sama pasti membuatmu bosan. Lagi juga, perempuan itu menyukaimu, Edwin. Pasti kamu akan menemukan suatu hal yang baru jika kamu bersama dengannya. Shannon adalah perempuan yang juga berasal dari keluarga tersohor. Dia adalah seorang perempuan yang teratur dan disiplin. Tak hanya cantik bagai dewi, namun dia juga pintar bagai Einstein. Shannon pasti memenuhi kriteriamu, bukan?

seven days ; panwink✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang