kala rindu melindu

585 130 12
                                    

SELAMAT pagi pemilik hati”


“selamat pagi matahari”


cengiran matahari kini seolah mencari celah seperti fajar pagi. hati-hati sebab sinarnya yang amat cemerlang hingga sanggup membuat pupil jadi silau.


“siap untuk bertemu samudra biru?”


“tentu saja”



lihatlah semangat sang matahari di langit biru terang. terminal memang tempat ramai, ditengah keramaiannya awan menahan segenap jiwa atas barisan sajak yang melintas di benak tentang matahari.



hanya karena memandangnya, sejuklah hati.
yang mana sejuknya melebihi dari siraman hujan pada bumi.



“kemarilah, lelap saja dulu dibahu kosong tak berpenghuni ini”



awan merasa kembali jadi manusia. akhirnya setelah sekian lama tawanya tak tertahan begitu lepas tanpa beban.

“ini masih pagi, aku tidak ingin melewatkan udara asri untuk terlelap dibahumu”



“yah..” wajahnya kemudian meraut sedih lalu menyandarkan kepalanya pada jendela bis tujuan sukabumi.



tanpa kompromi dengan si pemilik denyut kini kian mengusik dan pemicunya adalah wajah gemas matahari.



rasa yang masih pemula ini harus dididik dengan benar.



kendati awan menurut tanpa sebab. ketika sedang mencari posisi yang nyaman saat merebahkan kepalanya matahari dengan gesit langsung menatapnya lekat, pun dengan cekatan menggenggam jemari awan erat.



tunggu..


“tetaplah jadi perempuan yang membuat saya merasa kuat untuk menjaga kamu ya?”



padahal didetik ini senyuman awan harusnya mekar yang terjadi adalah netra yang bergetar saat bersirobok dengan kepingan si matahari.
 



ada apa dengan tatapan itu?
rindumu jadikan lindu disanubariku.
kalimatmu pun ragu dan pandangan itu isyaratkan ‘aku tidak sanggup pergi kesana’



“—wan?”

...

“hei ada apa?”

...

kok tidak marah-marah? apa kata-kata saya terlalu berlebih?”

...

“tapi saya tidak akan menariknya”

...

“awan, katakan sesuatu. jangan hanya memandang saya”

mata memang tidak pernah bisa berbohong, lalu awan tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya dia berkata

“matahari.. matahari..”


“ada apa?”


“tidak”


“oh ayolah, aku bukan maharamal yang tahu pikiranmu tanpa bertanya”


saat matahari berhasil memenangkan harapan awan.
seharusnya awan tahu bila matahari bukanlah labirin tak bertuan.
seharusnya awan pun menyadari bila dirinya masih belum mengetahui apapun tentang matahari.


seharipun belum terlewat dari sisipan harap dan doa sebelum awan memejamkan mata.


sepertinya pinta yang dirapal tadi malam sudah terhempas.


lucu sekali saat angannya untuk sembuh kembali namun kenyataannya tidak ada terapi atau siasat untuk mengelabui sang lara. yang ada hanya bilur baru yang tercipta.


sungguh doa yang sia-sia.










“awan, jelaskan pada saya rindumu yang bukan hadir disela waktu itu, yang selalu muncul di kedua bola matamu”



“kamu tidak berhak mengatakan hal seperti itu ketika kamu sendiri merindukan kenangan tuamu itu—”



“—lagi pula aku ini hanya diajak berkelana” awan mengakhiri dengan nada yang disusun pilu.















“awan, jelaskan pada saya rindumu yang bukan hadir disela waktu itu, yang selalu muncul di kedua bola matamu”“kamu tidak berhak mengatakan hal seperti itu ketika kamu sendiri merindukan kenangan tuamu itu—”“—lagi pula aku ini hanya diajak berkelan...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
perangai selaksa si matahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang