BANDUNG itu rindu dengan beberapa kenangan yang diciptakan. di remang petang yang sepi akhir juni, awan mengikuti langit jadi mendung. tinta pekat awan kembali menoreh sebait sajak pilu. sungguh, awan tak ingin lagi jadi jiwa yang malang, tak ingin lagi jadi awan yang mengasihi diri sendiri.
"menulis apa sih?"
"rahasia"
"yasudah deh kalau rahasia"
berbeda dengan langit bogor bersama rintik malu-malunya, langit bandung tanpa sungkan menumpahkan tangisnya pada bumi hingga suara hujan menetes membahasahi pohon dan aspal nyaring terdengar.
matahari dan awan tengah menginjak bayangan di toserba pinggir jalan yang tutup.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itutak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itutak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon berbunga itu
"ternyata kamu sangat pandai menyia-nyiakan bakat ya?"
linglung matahari membalas, "hah? apa?"
"kamu hebat dalam mendialogkan puisi, mungkin kamu bisa jadi deklamator"
"begitukah? saya pikir, saya lahir tanpa bakat"
dasar si penebar gelak! jadilah suara kekehan awan ikut mengalun sore itu.
"lagipula manusia memiliki keunikan masing-masing"
"mungkin iya"
"pasti" awan menjawab dengan keyakinan yang tinggi.
"tapi ternyata sesenang ini ya dapat mendengar kamu tertawa"
lihatlah pancaran sinar matahari yang merekah, itu adalah salah satu dari bentuk bahagia yang dimilikinya.
awan memilih bersandar nyaman pada pagar besi toserba. memandang jauh pada langit dengan khidmat sampai-sampai matahari yang menatap dari sudutnya tak bisa membendung lagi pertanyataan oleh pandangan itu.
"ada apa?"
"tidak" iris sewarna permata kelam menelaah pada tiap tetesan air yang dengan pasrah menjatuhkan dirinya. "sepertinya bila berdamai dengan jiwa pasti tenang sekali"
"awan. tolong jangan tunjukkan tatapan mahaluka itu," mohon matahari dengan cemas. "kamu juga memiliki hak untuk bahagia"
"terimakasih. kamu telah menjadi orang kesekian yang mengatakan hal itu"
saat tangisan awan nyaris mencapai penghujung. segeralah matahari menariknya keluar, membuat surai panjangnya terrembes oleh hujan. sedang awan tersentak kaget saat tubuhnya ditarik keluar dari bayangan lalu menemukan bahwa mataharilah pelakunya.
"dalam berdamai keikhlasan harus ikut andil tapi memang bukan hal yang mudah"
"kenyataannya aku gagal dalam mengenal rasa lalu aku jadi marah pada semua isi bumi, semenjak itu.. seperti dibelenggu. aku ingin dimakamkan saja!"
"dengarkan saya. hujan, pepohonan dan angin akan menjadi saksi ucapan. bahwasanya bumi, surga dan jagad raya pun ikut mengucap syukur atas kehadiran kamu—"
"—maka lekaslah pulihkan hatimu, ikhlaskan yang terjadi kemudian berdamailah dengan jiwamu"
mustahil bagi awan untuk menolak bala rengkuhan tenteram dari sang matahari saat hujan setia mengunyupkan keduanya.
"selamat datang ke bumi, semoga jiwamu lebih tenang setelah ini"
matahari,
mungkin dialah orangnya
sambaran petir nan sayu dikala langit mendung
ketika hujan turun akankah kau tetap diaini bersamaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
perangai selaksa si matahari
Cerita Pendekʜ ᴀ ᴇ ᴄ ʜ ᴀ ɴ 「 bertudung mendung dilangit bogor, hakikatnya haechan hanya ingin membuktikan bahwa matahari yang merekah pun dapat membakar luka dan dia terus meyakini bila h...