yang tak di kumandangkan

516 128 30
                                    

SUATU malam matahari telah membuat awan jengkel. awalnya matahari hanya melamun sambil menghisap cerutu yang baru saja dipatik. bermula dari seringai tipis hingga tawa keras tak tertahan, yang jadi masalah adalah waktu yang suka melewati tengah malam tidak etis matahari tertawa begitu lantang di senyap gelap.

dasar gila! matahari dan objek dibenaknya sungguh menjengkelkan. ayo fokus kembali awan!

“hei awan, kamu tahu tidak?”

“tidak!”

“mau saya berita tahu tidak?”

“tidak!”

“yasudah lagi pula saya akan tetap berbicara”

astaga.

“terserah!”

“malam itu kamu terlihat cantik”

“yang spesifik kalau berbicara, kita sudah banyak melewati malam bersama” katanya tidak peduli. padahal nyatanya awan kini sedikit gugup. tidak, sebenarnya banyak!

“malam ketika kamu menumpahkan hujan, awan. kamu terlihat cantik, menunjukkan kejelitaan perempuan asal kamu tahu”

dengan seribu rayuan sesungguhnya mahatari sedang meledek awan yang menangis kala itu ya?

kemudian wajah awan memerah, tipis batasannya antara geram dan malu. tak sanggup dibayangkan pasti wajahnya urakan sekali saat tangisnya pecah.

“eh? jangan hadirkan raut marah itu. sungguh waktu itu kamu terlihat..    menggemaskan” matahari tersipu dengan manisnya.

disana, diambang pintu. matahari jadikan awan sebagai titik fokus. setelah romantika di pelabuhan ratu awan membiarkan rasanya kian tumbuh sejajar.

“gadisku, semesta bilang pada saya dunia saja tetap butuh tidur, begitupun kamu”

matahari mendekat. dibuta malam kini semakin nyata sepasang mata yang memerah sebab menahan kantuk sedari tadi.

“matahari kamu bau tembakau” peringat awan, lalu langkahnya terhenti. detik berikutnya si matahari mulai melangkah mundur hendak memberi udara murni untuk awan.

“berhenti! jangan kemana-mana disini saja,”

“temani aku membuat cerita yang sedang aku tata ulang” awan mencicit diakhir.

“tentu, apapun itu”







 

 

“awan?”

“hm”

“sepertinya saya harus mengingatkan kamu”

“tentang apa?”

“saya disini bukanlah wujud ilusi, bukan pula imajinasi untuk dikhayali apalagi hanya sebuah karangan”

“memangnya aku pernah berkata bahwa kamu seperti itu?”

“tidak pernah. hanya saja.. saya akan selalu siap mendengar kisah kamu”

awan mengulas senyuman yang menerobos ingatan lampau, jadi arahnya kesana ya?

“bisa menunggu? karena ini bukan sembarang rindu. jika telah siap aku akan dongengkan untuk kamu”

“bisa. disisa ragu hati kamu biar sabar saya yang melahapnya”

“terimakasih matahari”

“boleh saya bertanya?”

apa awan pernah berkata bila matahari yang satu ini memiliki celoteh tiada habis? sepertinya sudah, iya kan?

“saat ini apa terbesit dibenak kamu untuk mundur saja dari perjalanan ini?”

“matahari dengar, kamu telah membawa aku berkelana sejauh ini kalau aku tinggal ragaku sekarang disini siapa yang akan kamu bawa keujung bentala?”

“kalau kamu ingin berhenti tidak ada alasan untuk saya melanjutkan penjelajahan”

“bawa aku, matahari”

dirimba kata yang awan ciptakan, sebait demi sebait nama sang matahari mulai diukir. banyak yang telah terbongkar.

awanpun bisa menghadirkan seribu rayuan seperti matahari,

penantang takdir, si pengembara hebat.
wujud pesona duniawi.
lengkapi kala sunyi.
penyejuk kala riuh.
perlu digaris bawahi hakikatnya hanya untuk menemani awan.
pelukan sang matahari membuat malam awan jadi tenang.

pengakuan awan tentu hanya sebatas frasa yang tak pernah bersuara.

ternyata banyak tentang kamu yang aku suka.


songgom, 2019








Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
perangai selaksa si matahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang