arti dari matahari dan awan

509 114 3
                                    

DIMANDIKAN purnama, keduanya ditikam sunyi. duduk di keramik beku hingga jadikan kopi milik matahari sejuk seutuhnya. tidak ada selimut hangat, keduanya meligih dalam embus pikiran masing-masing.

pada akhirnya matahari menghentak awan dengan alunan harmoni yang dia putar. kemudian awan pekat hadir, warnanya hitam hasil dari merah yang padam.

awan kembali meratap, “tadi pagi itu aneh sekali ya?”

“iya, tapi tidak juga. pagi tadi itu fenomena rindu yang hebat”

“walau sudah banyak lalu hanya ibulah arti rumah” dalam diam matahari mengangguk setuju dengan hal itu.

“matahari”

“ada apa?”

“apa kamu sudah bisa menebak apa yang aku pikirkan sekarang?”

“awan saya sudah pernah bilang kalau saya bukan maha ramal dan akan tetap seperti itu. lagi pula, apa saya memiliki hak untuk menerka-nerka tentang kamu?”

semilir belaian lembut angin ikut menyampaikan kabar kali ini, “aku ingin mempersembahkan dongeng untuk kamu”

“silakan, saya akan mendengarkannya dengan seksama”

awan menyepi dahulu sambil coba membuka diari lama yang sengaja dibiarkan berkarat, selepas itu barulah awan menyuarakan lukanya.

“apa kamu pernah merasakan jatuh hati yang tidak pernah kembali? aku pernah matahari.

dengan sangat, mengharapkan bahwa dialah yang paling tepat. jadi aku taruh di pundaknya semua mimpi-mimpiku, aku beri semua kepercayaanku tanpa curiga dan yang terpenting aku beri dia sejumput sisa rasa yang aku miliki.”

kembang yang gugur, harum aromanya tak sempat terhirup memenuhi rongga dada awan sebab dirinya lebih memilih melanjutkan cerita.

“namun perlahan aku salah. saat itu aku tidak peduli jika orang lain memandang aku hina karena memilih pria itu ketimbang ayahku sendiri.” walau jantungnya berdetak konstan. dalam hatinya, awan sedang bergemuruh hebat.

“aku seperti meluncur dari awan tinggi ketika dia pergi tanpa aba-aba membawa serta segala yang aku miliki dan meninggalkan ruang kosong. batinku terancam mati namun namanya selalu tersemat dalam tiap genggam bukan nama ayahku yang sedang sekarat. iblis macam apa aku ini?”

“awan...”

“waktu terus berlari kencang hingga aku dapat berita kalau ayah wafat. rasa kecewa menjerat kuat urat nadi, rasanya mau mati. aku menyesal hingga akhirnya menyerah, tidak ada yang mau menunggu lagi. ruang kosong yang ada turut aku hancurnya hingga jadi puing puing rapuh.”

jadi seperti itu arti lara awan, ada kelu di lidah matahari saat menyadari awan bercerita tentang kisah kelabu naas yang tragis tanpa tangis, hanya dikelilingi rasa marah dan putus asa dari perempuan lemah.

matahari sontak mendekap tanpa aba-aba ketika dongeng itu selesai. akan ada masanya puing-puing yang tercecer satu persatu diganti dengan beton kokoh. seperti sekarang contohnya, “membutuhkan petunjuk arah?”

iya, selama ini awan tersesat dalam labirin penyesalan, ditutup kabut kecewa dan menghirup rakus emosi dan yang dibutuhkan hanyalah petunjuk untuk keluar.

“tentu, oh iya matahari aku ingin mengucap terimakasih dan maaf”

“maaf?”

“maaf tentang opini aku saat perjamuan pertama ‘pikirmu kamu siapa? dasar laki-laki congak!’ tapi ternyata mulai dari tempat itu kamu berhasil menyelamatkan aku,

kita sudah melewati banyak sekali persimpangan di penantian terpanjang mulai sekarang mari saling jadi rumah”

matahari tersenyum, “perihal perasaan itu memang permasalahan yang tidak akan pernah selesai. walau saya terlihat memburu sisa ruang sempit di hati kamu bila sedang merenung dalam sepi saya kadang sadar bahwa mustahil mengharap kata kita muncul diantara saya dan kamu”

“sekarangpun masih sama?”

“tidak, kamu tahukan bahwa orang yang sedang jatuh cinta lupa logika”

mendengarnya dapat memunculkan reaksi luar biasa karena awan terbahak puas, puas atas jawaban matahari yang benar adanya.

 






“awan, lagu ini sakral”

“maksudnya?”

“kalau kamu melihat liriknya saya jamin kamu akan mengatakan hal yang sama. didengar ulang saja, setelah itu saya harap kedepannya arti matahari dan awan bisa sedalam lagu ini”

layaknya awan mengerikan telah diangkat namun tetap saja dalam perjalanannya dibumi matahari butuh pengakuan yang terang-terangan, bukan lagi teka-teki rasa yang menyebalkan.

“bila kita nanti tidak bisa jadi prasasti saya hanya ingin menjadi kunang-kunang dengan kamu”

“iya matahari, akan aku semogakan semua keinginan kamu”

kelak dialog dua insan ini akan diputar ulang kepada darah penerus bila ada manusia penjelajah dan saling bercerita dengan dirundung bagian berliku yang menjarum akhirnya terbebas dari labirin.




kelak dialog dua insan ini akan diputar ulang kepada darah penerus bila ada manusia penjelajah dan saling bercerita dengan dirundung bagian berliku yang menjarum akhirnya terbebas dari labirin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





sampai jumpa di bab terakhir!

perangai selaksa si matahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang