11. Keegoisan

1.7K 233 27
                                    

11. Kegoisan

Air mata pun tak bisa tahan dalam pelupuk matanya, memori itu memenuhi isi pikirannya saat ini, Chaeyoung benar-benar menyesal.

Bagaimana ia dengan bodohnya tidak mempercai kakaknya sendiri yang begitu peduli padanya?

Dan bagaimana ia bisa membela seseorang yang telah menyakiti dengan mudahnya?

Cinta kah?

Ah bulshit. Chaeyoung merasa tersakiti karena cinta yang ia junjung tinggi.

Bisakah Chaeyoung mengulang hari itu? Mempercayai semua perkataan Jennie dan meninggalkan Chanyeol yang sudah mengkhianati kepercayaannya

Bisakah? Chaeyoung menyesal. Lebih baik ia kehilangan cintanya daripada ia kehilangan saudarinya yang sudah dari kecil bersama.

Amarah dan cinta jika sudah bersatu bisa membuat sesuatu hal menjadi fatal jika tanpa ada kontrol dari akal sehat. Pikir Chaeyoung.

Chaeyoung menangis sendu merindukan sang kakak yang meninggalkannya beberapa bulan ini. Ia ingin diperlakukan manja oleh kakaknya seperti dulu. Ingin kembali menjadi adik kecil yang selalu meminta ini itu pada sang kakak.

Tak ada jawaban dari panggilan telepon, Chaeyoung mencoba mengirimi kakaknya itu pesan.

Jennie eonnie~

'Eonnie apa kabar? Chaeng sangat merindukan. Maafkan Chaeng, eonnie, karena bodoh mengambil keputusan yang berakibat fatal pada ikatan darah kita. Sudah sering Chaeng mengucapkan kata maaf, apa eonnie sudah memaafkan? Kenapa eonnie tidak pernah mau menjawab panggilanku? Apa eonnie masih marah? Atau sudah tidak menganggapku sebagai Adik lagi? Cepat kemari eonnie. Chaeng butuh eonnie.'

Berhasil mengetikkan kalimat itu, Chaeyoung mencoba merebahkan tubuhnya yang terasa pegal di bagian punggung. Sesekali rasa mual juga menyertainya.

Menatap sekali lagi ponselnya. Dan tidak ada notif apapun.

'Bahkan membalaspun eonnie tidak mau'

<><><><><>


Mata terus memandang pada ponselnya yang berisi kalimat panjang dari pesan yang baru saja ia terima.

Matanya memanas setelah membaca pesan singkat dari adiknya. Terbesit rasa ingin menelepon balik dari nomor yang sudah 21 kali menghubunginya.

Namun ia urungkan, hatinya masih sakit jika teringat adiknya yang sudah memutuskan memilih lelaki itu dibandingkan dirinya.

Sifat keras kepalanya menguasai semua bagian isi hatinya. Jennie teguh pada pendirian yang tidak mau bertemu dengan adiknya itu.

Biarkan saja.

"Sayang... Sayang.."

Jennie tersadar akan suara itu. Ia mengusap wajahnya untuk menyadarkannya.

Mino suaminya telah berdiri di depan meja Jennie sekitar 5 menit yang lalu.

"Eoh iya sayang maaf aku tidak sadar,"

"Kau kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Mino yang peka akan gerak-gerik dari istrinya.

"Tidak ada. Ayo pulang," Jennie merapihkan berkas-berkas yang berceceran di meja kerjanya. Lalu ia berdiri untuk menghampiri Mino.

Tiba di hotelnya. Sepanjang jalan, pikirannya tertuju pada orang itu. Astaga. Ayolah. Jennie sudah lupa kenapa sekarang malah terbayang bayang.

Saat sudah berada di ranjang bersama suami dan anaknya, ponsel Jennie berdering nyaring di atas nakas, menghentikan acara mereka yang sedang asik tertawa riang.

Jennie mengambil ponselnya. Dilihat lekat nama yang tertera disana.

"Kenapa tidak diangkat?" Mino bertanya karna Jennie malah terus melihat ponselnya, tanpa berniat menjawab panggilan itu.

Tak ada jawaban, Mino sedikit mengintip layar ponsel milik istrinya.

Hah. Pantas saja tidak diangkat, guman Mino yang mungkin Jennie masih bisa mendengarnya.

"Angkatlah, adikmu sangat merindukanmu." Jennie hanya meremas ponselnya mendengar perkataan Mino.

Mino hanya menarik napas dalam, aish istrinya masih pada pendiriannya, masih pada keegoisannya dan masih tidak memperdulikan.

"Sayang, dia sangat membutuhkan semua saudarinya. Pada masa kandungannya yang masih muda, dia ingin dimanja oleh orang terkasihnya, tapi karna dia sudah berpisah dengan si Brengsek, orang yang dibutuhkannya sekarang adalah eonnie-nya."

Mino menjeda kalimat yang ia ingin dikeluarkan lebih, ia sudah tahu perihal Chaeyoung dari Suho yang memberi tahunya. Maka dari itu Mino ingin meruntuhkan keegoisan istrinya untuk hal ini. Dan kembali peduli pada adiknya.

"Kau juga dulu sama kan, saat aku pergi selama 2 bulan karna pekerjaan, yang membantu dan menemanimu saat kehamilan adalah saudarimu. Terutama Chaeyoung yang katamu ia selalu menginap untuk menemanimu,"

Jennie mulai melemahkan remasannya pada ponsel yang masih terus berdering.

"Nah Chaeyoung juga sama sekarang posisinya sepertimu dulu. Yang banyak keinginan dan begitu manja, dan mungkin dia merasa tersiksa dengan kesendiriannya, belum lagi kesakitan di masa hamil mudanya ini."

Ponselnya kini tak berdering lagi. Ia simpan kembali di atas nakas.

"Sayang, jangan bahas dia dalam pembicaraan kita."

Jennie kembali bermain dengan anaknya yang asik bermain boneka beruang di tengah ia dan sang suami. Mengabaikan kembali dering teleponnya.

Suffering [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang