Ruangan yang begitu luas untuk disebut ruang kamar, Sandra tidak tahu dari brand apa yang terkenal di sini, tetapi segala fasilitas ataupun interior yang ada terlihat berkelas dan mahal. Dindingnya putih, namun ada beberapa bagian yang diberi warna gold.
Hari sudah pagi, namun ruangan masih remang-remang, sengaja hanya menyalakan satu lampu tidur saja. Gorden tebal pun masih sempurna menutup rapat, menghalau pemandangan serba putih di luar sana. Salju masih turun semalaman walau tidak begitu deras. Sandra tetap memilih bergelung di bawah selimut tebal meski penghangat ruangan sudah dinyalakan, jadi sedikit bosan karena hanya sendirian membuat keheningan semakin terasa.
Sandra terkejut saat tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dari luar, matanya terbuka lebar. Dia yakin semalam sudah mengunci pintu.
Seorang pria memakai setelan jas rapi melangkah masuk. Ah, ya, Dominic. Seharusnya Sandra sudah bisa menebak. Tentu saja Dominic bisa masuk karena seluruh akses di mansion ini diintegrasikan dengan sidik jarinya. Seperti biasa, dia diikuti seorang bodyguard dan ... pria lainnya? Sudah tua dan memakai jas berwarna putih.
Sandra terlonjak bangun, menatap Dominic penuh waspada. "Kenapa tiba-tiba masuk kemari? Ini kamarku!"
"Aku tidak peduli." Dominic mengalihkan perhatian pada pria tua itu. "Dokter, cepat periksa dia."
Apa? Dokter?
"Baik, Tuan."
"Kenapa kau memanggil dokter? Aku tidak sakit, Dominic!" protes Sandra.
Dominic tak merespons, justru diam mematung di tempatnya. Si pirang itu menatap dengan wajah angkuh sambil melipat kedua tangan di depan dada, membiarkan dokter mendekat ke sisi ranjang. Bodyguard yang berparas ala preman itu kemudian menyalakan lampu utama sehingga ruangan kamar jadi terang benderang.
"Selamat pagi, Nyonya. Perkenalkan, saya Henry, dokter Keluarga Jhonson," ucap dokter itu dengan senyuman ramah membuat keriput di wajahnya semakin kentara.
Dokter Henry menanyakan beberapa hal. Apakah datang bulan Sandra lancar, kapan dimulai dan berakhir jadwal menstruasinya. Dia juga memeriksa dengan stetoskop, lalu menekan di bagian perut. Dia mulai menceramahi Sandra soal persiapan kehamilan.
"Masa suburnya sekitar tanggal sepuluh sampai dua puluh lima bulan ini, Tuan."
Dominic hanya bergumam pelan.
"Meski ada waktu lima belas hari, kalau dilakukan setiap hari juga tidak baik. Setidaknya harus ada jeda, misalnya dua atau tiga hari sekali."
Apa-apaan orang tua satu ini? Apa yang sedang dia bicarakan? Melakukan apa memangnya?
"Saya akan menyiapkan beberapa vitamin dan susu formula untuk mempersiapkan kehamilan."
"Baik. Terima kasih atas sarannya." Dominic hanya menanggapi dengan dingin.
"Saya permisi."
"Guard, antar Dokter Henry."
Sang bodyguard mengangguk mengerti. "Yes, Sir."
Dominic tampaknya sengaja menunggu dan memastikan dua orang itu benar-benar pergi. Dia sempatkan melirik ke arah pintu yang sudah ditutup rapat sebelum melangkah mendekati Sandra.
"Bagaimana tidurmu semalam, Honey?" Perlahan Dominic membelai kepala Sandra. Bukan kasih sayang yang didapat, Sandra justru merasa terintimidasi. Sandra gugup, terlebih lagi saat melihat senyum miring Dominic yang mencurigakan. "Apakah memimpikanku?"
"Lepaskan!" Sandra langsung menepis kasar tangan Dominic sementara pria itu hanya mendengkus kesal, tetapi dia tidak terlihat marah. "Apa yang kau lakukan, Dominic?"
"Apa memangnya?"
"Untuk apa dokter itu memeriksaku?"
"Menurutmu?" Dominic sedikit memiringkan kepala.
"Katakan!"
"Kita sepakati saja. Mau dua hari, atau tiga hari sekali?"
"Apa katamu?"
"Jangan pura-pura bodoh, Honey. Aku yakin kau pasti mengerti. Waktumu hanya enam bulan. Ingat itu baik-baik."
"Kau bercanda, ya? Aku bukan sapi perahmu!" Sandra jadi sedikit membentak karena emosi.
"Aku tidak menganggapmu begitu." Dominic menatap dengan sorot geli yang menyebalkan. "Kau sendiri yang menilai dirimu sama seperti binatang." Dia tertawa pelan.
Spontan Sandra memalingkan wajah.
"Kalau begitu, aku akan kemari setiap dua hari saja."
Sandra melotot sebal. "Aku bukan mesin pembuat anak yang bisa kau atur sesukamu!"
"Itulah sebabnya aku memanggil Dokter Henry untuk mengecek masa suburmu. Sebenarnya aku ingin setiap hari, tapi dokter sudah memperingatkanku, lagipula aku tidak berminat mencelakaimu sekarang. Tidak disangka, rupanya kau cukup menyenangkan menjadi teman tidurku. Mungkin aku sedang beruntung karena bisa mendapat mitra sepertimu. Meski dari kalangan orang biasa, kau cukup memuaskan dan—"
Plak!
Tanpa berpikir panjang, Sandra langsung menamparnya, wajah tampan itu pun seketika berpaling dengan pipi yang memerah. Sandra tidak tahan melihat seringainya yang penuh penghinaan. Namun, bukannya merasa sakit, Dominic justru tertawa.
"Apakah tidak salah? Kau berani menamparku, My Lady?" Dia berkata dengan sorot mata berbinar.
Napas Sandra jadi memburu, ttetap memberanikan diri menatap pria di depannya dengan tajam. Rasa takut itu tetap ada. Tawa Dominic yang jarang-jarang terdengar itu bisa jadi ancaman tersirat untuk Sandra.
"Baiklah, tidak apa-apa. Hanya satu hal yang perlu kau ingat. Jika dalam waktu enam bulan kau tidak hamil, kau harus segera mempersiapkan ganti rugi untuk kontrak kita."
Sandra tak berani menjawab, bahkan untuk sekadar mengangkat pandangan dan balas menatap Dominic pun dia takut.
"Aku harap kau mengerti." Dominic lebih mendekat, dia mencengkeram dagu Sandra pelan hingga membuat wajahnya terangkat. Mau tak mau kedua mata mereka jadi saling bertemu pandang. Dominic membungkuk, lalu mencium bibirnya dengan lembut. "Sampai jumpa, Honey. Temani aku lagi nanti malam, okay?"
Dominic pergi dengan senyum puas, menyisakan perasaan Sandra yang campur aduk di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Kontrak Dua Miliar (TERBIT)
RomanceREADY STOCK @85.000 Bisa langsung WA ; 085877790464 Cover : @reghina "Tugasmu sangat mudah, cukup lahirkan pewarisku dengan selamat. Aku akan membayarmu, bukan hanya dengan mahar tetapi juga kontrak dua miliar." --Dominic A. Jhonson-- Akibat skandal...