03.

1.1K 100 1
                                    

Enam bulan telah berlalu,

Dan sudah enam bulan juga Khafi memutuskan untuk bekerja dari rumah, karna memutuskan untuk tinggal beberapa bulan di luar negeri bersama kedua orangtuanya, serta adiknya Ella, yang memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di luar negeri.

Hari ini Khafi berencana untuk kembali ke kantor, dan meninjau segalanya, semenjak ia memutuskan untuk bekerja dari rumah.

Tidak ada perubahan yang terlalu mencolok pada kantornya. Hal itu wajar, karena Khafi termasuk orang yang susah untuk beradaptasi dengan suasana baru. Ia lebih terkesan datar. Walau begitu, Kantornya masih tetap layak dan nyaman di gunakan saat sedang bekerja.

Kakinya bergerak melangkah pelan munuju lift. Sapaan ramah para kariawannya yang menggiring setiap langkahnya.

Khafi jenis tipe laki-laki yang akan ramah pada kondisi tertentu, salah satunya saat berhadapan dengan adiknya. Ia bukan laki-laki yang suka umbar-umbar senyum.

"Bang Khaf!!!'" sapa seseorang dari belakangnya.

Khafi menoleh, dan mendapati teman adiknya, Renda sudah berdiri di depannya, lengkap dengan senyum ramahnya.

"Pulang juga akhirnya ya bang" ucap Renda. "Ella apa kabar bang?" tanyanya basa-basi.

"Seperti biasa Ren, aktif selalu, sampai buat kedua orangtua saya punya inisiatif buat ngehome schollingnya" jelas Khafi santai.

Renda terkekeh.

"Bagaimana pekerjaan kamu? Enggak ada niat buat lanjutin sekolah?" tanya Khafi.

Kedua manusia itu masih setia berdiri di depan lift, menunggu kotak besi itu terbuka dan mempersilahkan Khafi untuk masuk.

"Kayaknya untuk sekarang belum deh bang. Tapi buat lanjutin sekolah mah aku ada niat bang, tapi entar aja" jelas Renda.

Khafi mengangguk pelan.

"Kalau begitu saya duluan ya pak. Mau sarapan bubur ayam ke depan dulu" ucapnya sembari sedikit berlari kearah salah satu kariawan perempuan.

Khafi kembali melihat kedepan, dan memperhatikan rentenan nomor yang yang berada di atas lift.

"Selamat pagi pak" sapa seseorang dari sampingnya. Dan hanya di balas gumaman pelan oleh Khafi.

Ting

Pintu besi itu akhirnya terbuka, dan Khafi segera masuk kedalamnya, di ikuti oleh kariawan perempuan yang menyapanya tadi.

"Lantai lima belas pak?" tanya sebuah suara.

"Iya" balas Khafi datar.

Kemudian hening. Khafi atau kariawan perempuan itu sama sekali tidak punya niatan untuk membuka mulutnya untuk sekedar basa basi.

Sesampai di lantai ruangannya, Rani, salah satu sketarisnya menghentikan langkah kakinya.

"Maaf pak, Komputer bapak saat ini sedang tidak bisa di gunakan. Saya sudah meminta orang bawah untuk melihat. Maaf membuat pekerjaan anda sedikit terganggu" jelas Rani dan di balas gumaman oleh Khafi.

Sesampai di ruangannya, Khafi menaruh tas kerjanya ke atas meja. Kakinya melangkah menuju jendela besar yang terbuat dari kaca. Tempat ini biasanya yang di gunakan adiknya untuk nongkrong.

Tangannya merogoh saku celananya, untuk menghubungi Ella adiknya. Ia bahkan sudah tidak mempedulikan suara seseorang yang permisi masuk karena ingin memperbaiki komputernya.

^

Dengan celana bahan panjang yang bewarna hitam, serta kemeja putih mahalnya dan cardigan hitamnya, Khafi, bosnya sungguh tampak menakjubkan pagi ini.

Norah sudah menyelsaikan pekerjaannya sejak lima menit yang lalu, namun ia masih bertahan di tempatnya, memandang Khafi dari belakang.

Kedua tanggannya saling menjalin, ia gugup. Sudah lama ia memikirkan ini, dan ini saatnya.

Entah apa yang akan boss-nya katakan nanti saat ia mengatakan keinginannya. Ia hanya berharap tidak di usir dengan tidak hormat dari kantor ini.

"Apa yang kamu lakukan disana?" suara itu menguar dan memenuhi ruangan Khafi, membuat Norah terkejut, karena didapati sedang berdiri dan melamun.

"Ma-maaf pa" cicitnya.

"Komputer saya sudah siap?" tanya Khafi, tidak mempedulikan permintaan maaf Norah.

"Sudah beres pak. Sudah bisa di gunakan kembali" jawab Norah gugup.

Khafi berjalan pelan menuju kursinya. Salah satu tangannya masuk ke dalam kantong celana bahannya.

"Lalu, apa yang masih kamu lakukan disini?" tanya Khafi kembali, setelah duduk di kursi kebesarannya.

Kedua matanya memandang Norah dengan tajam. Sebenarnya ia tidak punya waktu untuk bertingkah seperti ini, melakukan introgasi terhadap bawahannya. Tapi Norah seakan memiliki magnet saat Khaffi memperhatikan gadis itu sedang melamun. Ada sesuatu dalam diri Khafi yang tidak menginginkan ia melepaskan bawahannya ini pergi begitu saja.

"Pak!!" desah Norah putus asa. Kakinya melangkah mendekati meja kerja Khafi.

Khafi mengerutkan keningnya bingung. Bingung dengan tingkah laku bawahannya yang tiba-tiba tampak seperti sedang putus asa.

"Kamu kenapa?" tanya Khafi penasaran.

Norah masih diam. Kedua matanya memandang kebawah.

"Siapa nama kamu?" tanya Khafi lagi.

"Norah pak" jawab Norah pelan. Sebenarnya tampak lebih seperti gumaman.

"Norah, kamu kenapa?"

Khafi masih memandang Norah dengan datar.

"Norah!" panggil Khafi dengan sabar.

"Pak, tolong saya" pinta Norah dengan memohon.

"Apa yang bisa saya bantu?" tanya Khafi sabar. Sebenarnya ia ingin segera melakukan pekerjaannya, daripada berkutat dengan seorang gadis yang kini memohon pertolongannya.

"Pak, tolong saya! Bapak bisa gak pura-pura jadi pacar saya" pinta Norah menatap mata Khafi serius.

Brak

Suara barang jatuh mengalihkan konsentrasi Khafi. Matanya melirik kearah belakang tubuh gadis yang bernama Norah tadi. Disana, ia bisa melihat Rani sketarisnya sedang menunduk sambil mengumpulin beberapa dokumen yang ia jatuhkan.

"Kamu baik-baik saja Rani?" tanya Khafi yang kini lebih melihat Rani dan mengacuhkan Norah.

"Saya baik-baik saja pak. Maaf pak, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mendengar obrolan anda" ucap Rani menyesal.

Khafi mengangguk mengerti. "Kamu bisa keluar dulu Ran. Nanti saya panggil lagi" ucap Khafi tenang.

Khafi berdehem, berusaha menarik perhatian Norah.

"Kamu tadi minta tolong apa?" tanya Khafi kembali.

Norah, gadis itu tampak semakin gugup saat Khafi kembali bertanya. Tidakkah laki-laki itu tahu bahwa sekarang Norah sudah tidak punya muka. Apalagi tadi sempat tercyduk dengan sketaris laki-laki itu. Dan sekarang Khafi memintanya untuk mengulangi perkataannya? Yang benar saja!!!

"Pak!" lirih Norah. Matanya kini sudah berkaca-kaca karna ingin menahan tangis.

"Hmm" Dan sialnya, Khafi hanya membalas dengan deheman. 

"Bapak bisa gak jadi pacar pura-pura saya?" lantang Norah.

'Peduli setan sama malu' Batin Norah.

Khafi mengangguk pelan. Bibirnya terbuka, "Baiklah. Kamu silahkan keluar" perintah Khafi begitu saja.

Jangan tanya bagaimana Norah saat ini. Matanya kini menatap nyalang bossnya. Kakinya masih belum beranjak dari tempatnya.

About HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang