09. Luka

16 3 2
                                    

"Gilang, kemarin lu pulang sama siapa?" tanya tiga orang siswi.

"Kinayra, emang kenapa?"

Seperti itu yang mereka bicarakan saat aku melintas di depan Gilang yang sedang berbicara dengan beberapa orang siswi.

Aku pura-pura tak mendengarkan mereka dan mempercepat langkahku menuju kantin. Di kantin sudah terdapat Lisa dan Fany, kelihatannya mereka sedang menungguku. Tapi aku tidak melihat Dino, dimana dia?

"Lama banget, Nay. Kita udah laper nih".

"Ya maaf, Dino mana? Biasanya kalau urusan makan cepet".

"Dino lagi ngurusin data anak basket yang mau tanding hari Sabtu".

"Lu udah baikan sama Dino?"tanya Lisa penasaran.

"Gatau"

Kami menikmati makanan kami masing-masing, sesekali juga membicarakan hal-hal yang konyol sampai kami tertawa. Aku menengok ke arah kananku, dan mendapati pria yang tidak asing bagiku.

Steven Kastara A

Pria bermata coklat yang memiliki senyum sangat manis, mampu membuat kaun hawa terpikat karena wajah dan senyum yang begitu indah.

"Lisa! Fany! Lu liat ga cowok yang di sebelah kanan gue?"

"Yang mana?"

"Yang lagi minum jus jeruk, tuh."

"Knapa? Gebetan lu? Itukan anak Paskib". Sahut Fany memberi tahu.

"Ohya? Itu yang pernah gue ceritain sama kalian, kita pernah satu bus dan di hukum bareng".

"Wah lumayan tuh, ganteng".

"Ga salah lu milih gebetan. Tapi inget, jangan ambil ka Gilang ya, itu gebetan gue". Fany mengingatkanku tentang hari kemarin saat aku menghabiskan sore bersama Gilang.

Aku takut jika di ceritakan nanti Fany akan marah padaku dan tentunya begitu.

"Btw, ada yang punya kontak ka Gilang?"tanya Fany.

"Gue ada, nanti gue kirim".

       —🐼—🐼—🐼—

Bel pulang sekolah berbunyi, seluruh siswa-siswi berhamburan keluar dari kelasnya. Aku yang sedang bersama ketiga sahabatku langsung meninggalkan kelas.

"Lu udah maafin gue, kan?"

"Gatau".

"Gue anterin lu pulang deh". Tawar Dino

"Kan emang biasanya gitu".

"Yaudah iya bawel, Sabtu ada acara gak? Kalau gak ada kita nonton, gue yang bayar".

"Asikk, kita gak di ajak?"tanya Lisa dan Fany yang mengangguk menanggapi.

"Kalau mau ikut, kuy. Tapi bayar sendiri, gue cuma bayarin Nayra".

"Hmm liat nanti deh".

Langit mulai menunjukan kesedihannya. Awan gelap yang menutupi sinar matahari sedikit lagi akan berganti menjadi air yang turun membasahi bumi, hujan. Aku tidak suka hujan, aku lebih menyukai gerimis.

"Eh, lu yang namanya Kinayra, bukan?"

Tiga orang siswi kelas 12 menghentikan langkah kami di kooridor lantai satu.

"Iya, kenapa kak?".

"Gue mau ngomong sama lu, penting banget nih".

Kakak kelas itu memiliki wajah cantik dan berambut lurus. Tapi ada apa mencariku?

Kemudian aku menyuruh sahabatku untuk bergegas pulang terlebih dulu, tak apa mereka meninggalkan ku daripada harus menunggu jika saja lama.

"Ya, kenapa kak?".

"Gue Aurel, ini Bella dan ini Jesyka. Apa lu kenal kita?".

"Ngga, kenapa?".

"LU GAUSAH DEKETIN GILANG LAGI! SELERA GILANG BUKAN LU, JANGAN HARAP DIA SUKA SAMA LU!".

Plakk.

Tamparan yang cukup kencang mendarar di pipiku. Benar jika mereka memiliki wajah cantik tapi tidak memiliki perilaku yang baik. Bahkan aku yang tak tahu apapun terlibat dalam ini.

"Apaan sih, ka? Gue salah apa sama lu?".

"Kesalahan lu banyak. Lu gausah sok cantik buat dapetin Gilang!"

Jika kenyataannya aku cantik, mau bagaimana?

Mereka menyeret tanganku kasar. Membawaku ke toilet dan mungkin mereka akan menyiksaku disini.

Aku di lemparkan ke lantai toilet, lalu ia memaksaku berdiri kembali. Aku tak bisa melawan karena mereka bertiga saling bekerja sama. Ada yang memegang tubuhku, menamparku dan kemudian gadis yang bernama Aurel mengeluarkan pisau lipat dari sakunya.

"Biar Gilang gak suka sama lu, mending gue gores pipi lu sedikit".

Sreett.

Untungnya dia tidak menggores terlalu dalam, hanya sedikit membuat darahku keluar dan perih. Tak apa ini tidak terlalu sakit, tapi jika kena air maka akan terasa amat perih.

"Tunggu dulu, gue belum puas nih".

Bella mendorongku ke cermin toilet dengan kencang. Beberapa serpihan kaca jatuh dan mengenai tanganku.

Jesyka membuka jilbabku, kemudian ia menjambak rambutku. Ini rasanya lebih sakit dari sebelumnya. Tapi jika aku berontak, maka akan semakin kencang tarikannya. Bisa-bisa rambutku terlepas.

Setelah puas bermain denganku, mereka segera pergi dari toilet. Mereka tidak mengunciku dari luar, jika saja mereka mengunciku, aku akan mencari kunci lain di balik pintu toilet khusus guru. Entahlah atau mungkin mereka bodoh. Ups.

Aku merapihkan penampilanku yang berantakan. Kembali mengenakan jilbab dan mengusap pelan bekas darahku, sampai akhirnya aku bergegas pulang.

Saat itu hujan turun perlahan dari langit, membasahi diriku yang tengah berjalan. Luka di tubuhku perih sekali, darahnya kembali keluar. Aku menangis sejadinya, aku tak mau pulang karena keadaanku yang seperti ini. Ketiga sahabatku menanyakan keberadaanku sekarang tapi aku tak menjawabnya.

Aku berjalan ke arah taman, tempat kemarin aku bermain ayunan bersama Gilang. Di saat hujan seperti ini suasana sepi dan dingin menjadi satu, melengkapi rasa sakit yang kurasakan.

Tuhan, aku butuh seseorang disini, aku takut. Dingin yang menusuk tulang dan air mata yang tertutupi dengan derasnya air hujan. Kala itu aku melihat samar-samar seseorang yang tengah berlari ke arahku menerobos derasnya air hujan. Ia datang memberi sejuta kehangatan untukku, ia berjongkok lalu menggendong tubuhku.

"Lu ngapain main ujan-ujanan gini? Kalau mau mandi ga gini juga, Nay".

Ada desiran hangat di hatiku, aku yakin jika dia mengkhawatirkan keadaanku. Di saat seperti ini masih saja sempat bercanda.

"Emang udah berapa hari ga mandi? Oh gue tau mesin air di rumah lu mati ya, sampe lu mandi ujan gini? Jahat lu ga ngajak gue ujan-ujanan begini".

Ngaco! Terserah apa kata lu deh, gue gamau debat sama orang gila.

Dia menggendong tubuhku dan membawaku ke dalam mobilnya. Air mataku masih menetes dan tubuhku gemetar. Dia melihatku penuh tanda tanya. Perlahan, sentuhan lembut jari-jemarinya mengusap air mataku.

"Lu capek kan? Tidur aja, nanti kalau udah sampe gue bangunin".

"Gue gamau pulang ke rumah dengan keadaan gue yang begini".

"Yaudah, kita mampir ke toko baju dulu terus lu ganti pakaian lu".

Dia, seseorang yang selalu ada untukku. Dia mencemaskanku, itu terlihat jelas dari raut wajahnya. Aku ingin sekali mendapat seseorang yang seperti ini, apakah ini orang yang di kirim Tuhan untukku?

Jika iya, aku berharap kita terus seperti ini selamanya. Menghadirkan sejuta kebahagiaan di setiap waktu. Mampu membuatku tertawa dengan kelakuannya yang aneh. Ya, setiap orang memiliki cara untuk membuat orang lain bahagia dan itu salah satunya.

Takdir SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang