Tujuh

114 20 15
                                    

Yeorin.

.

Sudah dua minggu berlalu sejak terakhir kali aku bertemu Jimin, tapi baru dua detik berlalu sejak terakhir kali aku memikirkan dia.

Kelihatannya jam kerja Jimin juga sepanjang Seokjin, dan meskipun rasanya menyenangkan sesekali memiliki apartemen ini untuk diri sendiri, rasanya juga menyenangkan ketika Seokjin tidak bekerja dan ada seseorang untuk diajak mengobrol.

Aku akan mengatakan pasti menyenangkan jika Seokjin dan Jimin sama-sama libur kerja, tapi itu belum pernah terjadi sejak aku tinggal di sini.

Hingga hari ini.

“Ayahnya bekerja, dan dia libur sampai Senin,” Seokjin memberitahu.

Aku tidak tahu dia mengundang Jimin pulang ke rumah kami hingga hari Chuseok, dan baru sekarang tahu. Seokjin mengetuk pintu apartemen Jimin.

“Dia tidak punya acara.”

Aku cukup yakin aku mengangguk setelah mendengar pemberitahuan itu, tapi aku berbalik dan langsung berjalan ke lift. Aku takut begitu Jimin membuka pintu, ekspresi girangku karena dia akan tinggal di rumah kami akan kentara.

Aku sudah di lift, berdiri di dinding belakang, ketika Seokjin dan Jimin masuk.

Jimin melihatku dan mengangguk, tapi hanya itu. Terakhir kali berbicara dengan Jimin, aku membuat suasana canggung di antara kami begitu pekat, jadi aku tidak bicara sepatah kata pun. Aku juga berusaha tidak menatapnya lekat-lekat, walau sungguh sulit untuk fokus pada hal lain.

Jimin memakai pakaian santai — topi, jins, dan kaus oblong polos. Tetapi, menurutku justru karena itu aku jadi sulit mengalihkan perhatian, karena aku selalu menganggap kaum lelaki lebih menarik jika mereka tidak terlalu berusaha keras kelihatan menarik.

Tatapanku meninggalkan pakaian Jimin dan beradu dengan tatapannya yang serius. Aku tidak tahu apakah sebaiknya tersenyum malu atau memalingkan wajah, jadi aku memilih meniru tindakan Jimin selanjutnya, menunggunya lebih dulu mengalihkan tatapan.

Tapi dia bergeming.

Jimin terus menatapku tanpa bersuara sepanjang perjalanan lift turun, dan aku dengan keras kepala melakukan hal yang sama. Setelah kami tiba di lantai dasar, aku lega Jimin lebih dulu keluar, karena aku harus menghela napas dengan gerakan kentara, mengingat sedikitnya enam puluh detik tadi aku menahan napas.

“Kalian bertiga akan ke mana?” tanya paman Kang setelah kami keluar dari lift.

“Pulang ke Daegok,” sahut Seokjin. “Kau punya rencana untuk Chuseok, paman?”

“Lalu lintas penerbangan pasti sibuk,” kata paman Kang. “Aku mempertimbangkan tetap di sini dan bekerja.”

Dia mengedip padaku, aku balas mengedip sebelum paman Kang mengalihkan perhatian pada Jimin. “Bagaimana denganmu, Nak? Kau juga pulang?”

Jimin memperhatikan paman Kang tanpa bersuara, sama seperti dia memperhatikanku tanpa bersuara ketika di lift.

Keadaan ini membuatku merasakan kekecewaan besar; ketika di lift aku memendam sepercik harapan Jimin menatapku lekat karena dia juga merasakan ketertarikan padaku, sama seperti yang kurasakan ketika aku berada di dekatnya.

Sekarang, ketika menyaksikan bagaimana dia tidak mau mengalah saat bertatapan dengan paman Kang, aku hampir yakin itu tidak berarti Jimin tertarik pada seseorang, semata karena orang itu balas menatap tanpa gentar.

Jimin kelihatannya menatap semua orang dengan cara seperti ini. Lima detik berlalu dalam keheningan dan kecanggungan yang pekat, tak seorang pun dari mereka angkat bicara. Atau mungkin Jimin tidak suka dipanggil nak?

Bad LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang