Sebelas

111 18 3
                                    

Yeorin

.

“Aku Ingin Pipis.”

Seokjin mengerang. “Lagi?”

“Aku sudah dua jam tidak pipis,” kataku membela diri.

Aku tidak benar-benar butuh ke kamar mandi, tapi aku perlu keluar dari mobil ini. Setelah percakapanku dengan Jimin kemarin malam, mobil ini terasa berbeda dengan Jimin di dalamnya.

Rasanya dia menjadi lebih banyak; seiring menit bergulir dan Jimin tidak berbicara, aku bertanya-tanya apa yang berkecamuk di pikirannya.

Aku bertanya-tanya apakah dia menyesali percakapan kami. Aku bertanya tanya apakah Jimin akan pura-pura percakapan kami tidak pernah terjadi.

Aku berharap ayahku akan pura-pura peristiwa kemarin malam tidak pernah terjadi. Sebelum kami berangkat pagi ini, aku duduk di meja bersama Ayah ketika Jimin masuk.

“Tidurmu nyenyak, Jiminie?” tanya Ayah ketika Jimin duduk di meja.

Aku mengira wajah Jimin akan memerah karena malu, tapi dia menjawab pertanyaan ayahku dengan gelengan.

“Tidak terlalu nyenyak,” sahut Jimin. “Putra anda mengigau dalam tidurnya.”

Ayahku mengangkat gelas dan mengacungkannya ke arah Jimin. “Senang mengetahui kau sekamar dengan Seokjinie kemarin malam.”

Untunglah Seokjin belum ikut bergabung dan mendengar komentar ayahku.

Jimin diam saja selama sisa waktu sarapan, dan satu-satunya kesempatan aku melihatnya berbicara setelah itu adalah ketika Seokjin dan aku sudah di mobil. Jimin berjalan mendatangi ayahku dan menjabat tangannya, mengatakan sesuatu yang hanya bisa didengar ayahku.

Aku mencoba membaca ekspresi ayahku, tapi ayahku berhasil mempertahankan wajah tanpa ekspresinya. Kemampuan ayahku menyembunyikan isi pikirannya hampir sehebat Jimin.

Aku sungguh ingin tahu apa yang dikatakan Jimin pada ayahku pagi ini sebelum kami berangkat.

Aku juga ingin tahu kira-kira selusin jawaban lain atas pertanyaanku yang menyangkut Jimin.

Ketika kami kecil, Seokjin dan aku selalu sepakat tentang satu hal — jika boleh memiliki satu kemampuan super, kami ingin bisa terbang. Sekarang setelah aku mengenal Jimin, aku berubah pikiran. Jika boleh memiliki kemampuan super, aku ingin bisa menyusup. Aku akan menyusup ke benak Jimin supaya bisa melihat semua pikirannya.

Aku akan menyusup ke hatinya lalu membuat diriku menyebar seperti virus.

Aku akan menyebut diriku Sang Penyusup.

Kedengarannya keren.

“Sana pipis,” kata Seokjin dengan kesal sambil memarkir mobil.

Aku berharap aku menjadi anak SMA lagi supaya bisa memanggil Seokjin sapi. Sayang, orang dewasa tidak memanggil kakak laki-laki mereka dengan sebutan sapi.

Aku turun dari mobil dan sedikit merasa bisa bernapas kembali, hingga Jimin membuka pintu di sisinya, lalu ikut turun dari mobil dan menjejakkan kaki di dunia.

Sekarang Jimin kelihatan seperti membesar, sementara paru-paruku mengecil. Kami bersama-sama berjalan masuk pom bensin, tapi tidak saling berbicara.

Lucunya, cara ini berhasil. Kadang, tidak berbicara justru mengungkapkan lebih banyak pesan melebihi semua kata yang ada di dunia. Kadang, kebungkamanku mengatakan, Aku tidak tahu bagaimana cara berbicara denganmu.

Aku tidak tahu apa yang kaupikirkan. Bicaralah padaku. Ceritakan padaku semua hal yang pernah kaukatakan. Semua kata yang pernah kauucapkan. Mulai dari kata paling pertama yang kau ucapkan.

Bad LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang