Tigapuluhlima

138 21 77
                                    

Yeorin.

.

Aku menutup pintu mobil dan berjalan ke tangga yang mengarah ke lantai dua kompleks apartemenku.

Aku lega tidak perlu menggunakan lift lagi, tapi tidak urung aku sedikit merindukan paman Kang, meskipun kebanyakan nasihatnya banyak yang tidak masuk akal untukku.

Rasanya senang saja bisa mencurahkan isi hatiku padanya. Selama ini aku menyibukkan diri dengan bekerja sambil kuliah, berusaha tetap fokus, tapi sulit.

Aku tinggal di apartemen baru ini sudah dua minggu, dan meskipun aku berharap bisa sendirian, itu tidak pernah terjadi.

Setiap kali aku masuk dari pintu depan, Jimin ada di mana-mana. Dia masih segalanya, dan aku masih menunggu hingga dia tidak lagi menjadi segalanya.

Aku terus menunggu hari ketika kepedihan ini berkurang, ketika aku tidak merindukan Jimin sebesar ini.

Aku ingin mengatakan hatiku hancur, tapi hatiku tidak hancur.

Menurutku, hatiku tidak hancur. Sebenarnya, aku takkan tahu apakah hatiku hancur, karena hatiku tidak lagi berada di dadaku sejak aku meninggalkannya tergeletak begitu saja di depan pintu apartemen Jimin pada hari aku mengucapkan selamat tinggal padanya.

Aku menyuruh diriku melewati sehari demi sehari, tapi jauh lebih mudah bicara daripada melaksanakannya. Terutama ketika siang berganti malam dan aku berbaring sendirian di ranjangku, menyimak kesunyian.

Kesunyian tidak pernah terasa selantang ini sebelum aku mengucapkan selamat tinggal pada Jimin.

Belum apa-apa, aku ketakutan membuka pintu apartemenku, padahal belum setengah jalan menaiki tangga. Aku bisa memastikan malam ini takkan berbeda dengan semua malam lain sejak Jimin hadir.

Aku tiba di puncak tangga dan belok kiri menuju apartemenku, tapi kakiku berhenti bergerak.

Kakiku berhenti bergerak.

Aku bisa merasakan jantungku berdetak lagi di suatu tempat di dadaku untuk pertama kalinya dalam dua minggu.

“Jimin?”

Dia tidak bergerak.

Dia duduk di lantai, di depan apartemenku, menyangga tubuh di pintu. Aku berjalan lambat-lambat ke arahnya, tidak tahu bagaimana harus menyikapi kemunculannya.

Jimin tidak memakai seragam, melainkan pakaian santai, dan tunggul di dagunya menjadi bukti dia sudah beberapa hari tidak bekerja. Di bawah matanya ada bekas yang kelihatan seperti memar baru.

Aku takut membangunkan Jimin, karena jika dia sesangar ketika pertama kali aku bertemu dengannya, aku tidak ingin berurusan dengan situasi seperti itu. Tetapi, lagi-lagi, tidak mungkin aku bisa mengitari Jimin dan masuk ke apartemenku tanpa membangunkannya.

Aku menengadah dan menghela napas, dalam hati membatin harus berbuat apa.

Aku takut jika membangunkan Jimin, pertahananku runtuh. Aku pasti mempersilakan dia masuk, memberikan apa yang diinginkan dia dengan kedatangannya kemari, yang jelas bukan bagian diriku yang ingin kuberikan padanya.

“Yeorin,” panggil Jimin.

Aku menurunkan tatapan padanya. Dia sudah bangun, dan bangkit sambil memandangku dengan gugup. Aku mundur selangkah ketika Jimin berdiri, karena aku lupa betapa tingginya dia, walaupun masih lebih tinggi Seokjin. Aku lupa betapa dia menjadi segalanya ketika berdiri di depanku.

“Sudah berapa lama kau di sini?” tanyaku.

Jimin melirik ponsel di tangannya.

“Enam jam.” Tatapannya kembali naik padaku. “Aku benar-benar perlu menggunakan kamar mandimu.”

Bad LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang