Extra bab

177 20 28
                                    

Yeorin.

.

Aku bisa mendengar dering ponselku tapi hanya satu bagian kecil dari diriku yang cukup peduli untuk menjawabnya. Bagian yang tahu bahwa itu mungkin saja Jimin. Dia satu-satunya hal yang bisa membuatku berhenti berdoa untuk kematian saat ini.

Shiftku berakhir jam tujuh pagi kemarin tapi penyakit yang aku dapatkan selama itu masih hidup dan sehat.

Aku mengalami demam 38 derajat saat melewati pintu depan kemarin dan tidak ada yang membantu ku. Sampai pada titik di mana aku bahkan tidak bisa mencapai kulkas tanpa mengambil tiga kali waktu istirahat. Aku menyerah pagi ini dan memutuskan aku akan membiarkan flu ini membunuhku.

Sejauh ini aku belum mati, dan ponselku masih berdering, mengingatkanku tentang bagian kecil dari diriku yang bisa membuatku tersenyum di tengah-tengah neraka.

Suamiku.

Pria yang belum kutemui dalam dua belas hari, berkat shift non-kooperatif kami bulan ini.

Aku meraba-raba letak ponselku dengan ujung jariku. Jaraknya lebih dari dua kaki dariku, jadi aku menariknya lebih dekat dan menggeser jariku ke layar. Aku mencoba mengingat di mana ikon pengeras suara berada dan mengetuk di sekitar layar ponsel.

“Halo?” Suaraku begitu lemah, aku bertanya-tanya apa itu hanya di kepalaku.

Tapi kemudian suara Jimin yang familier terdengar di tempat tidurku dan memenuhi telingaku saat dia berkata, “Yeorin?”

Ini pertama kalinya aku bahkan memikirkan tentang tersenyum sejak flu menyerangku.

“Ya,” bisikku.

Tenang sekali.

Aku berpikir untuk menjawabnya, tapi itu bukan pertanyaan. Aku hanya punya kekuatan yang cukup untuk menjawab pertanyaan.

Sayang?” Jimin terdengar khawatir.

Aku mengangkat kepalaku agar suaraku yang menyedihkan bisa mencapai ponsel.

“Sakit.” Aku bicara singkat dan tepat sehingga Jimin akan mengerti. “Flu.”

Aku mengambil napas dan kepalaku terempas ke bantal.

Oh, tidak,” katanya, benar-benar khawatir.

Jimin menghela napas di telepon dan dia tidak harus mengutarakan bahwa helaan itu untukku. Aku tahu Jimin frustrasi karena dia tidak dapat melakukan apa pun untukku.

Jimin sedang berada di Florida atau di suatu tempat sejauh Amerika Serikat bisa menjauhkannya dariku, jadi tidak ada yang bisa dia lakukan.

Tapi sejujurnya, telepon dari Jimin saja sudah cukup. Rasanya sangat enak mendengar suaranya. Kami sudah menikah selama lebih dari satu tahun sekarang.

Tepatnya 455 hari.

Dan berkat jadwal kerja kami, kami sudah menghabiskan kurang dari 100 hari bersama-sama. Itulah sebabnya kepalaku masih pening saat Jimin berjalan melewati pintu ke apartemen kami.

Dan saat Jimin memanggil namaku.

Dan saat Jimin tersenyum padaku.

Dan setiap kali aku memikirkannya.

Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan?”

Aku ingin bilang, Ya. Bajak sebuah pesawat dan terbang pulang dan merangkak di tempat tidur bersamaku.

Tapi sebaliknya aku hanya berbisik, “Tidak. Aku hanya butuh istirahat.”

Jimin menghela napas lagi dan berkata. “Aku tidak ingin membuatmu tetap Online. Kau terdengar sangat lelah. Aku akan lepas landas dan aku hanya ingin mendengar suaramu. Aku mencintaimu.”

Bad LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang