Duapuluhtiga

139 23 76
                                    

Yeorin.

.

Aku sangat merindukanmu, Jimin.

Pemikiran seperti itu yang menjadi alasan aku menenggelamkan kesedihanku pada cokelat. Sudah tiga minggu berlalu sejak Jimin mengantarku pulang.

Sudah tiga minggu berlalu sejak terakhir kali aku bertemu Jimin. Natal datang, lalu pergi, tapi aku tidak menyadarinya karena aku bekerja saat Natal. Dua kali Kamis malam Jimin tidak muncul untuk menonton pertandingan. Tahun Baru juga tiba, lalu pergi. Semester baru kuliah dimulai.

Dan Yeorin masih merindukan Jimin.

Aku mengambil biskuit cokelat dan susu cokelatku, lalu berjalan ke dapur untuk menyembunyikannya dari orang yang mengetuk pintu apartemen.

Aku tahu yang datang bukan Jimin, karena yang mengetuk Soobin dan Yeonjun. Hanya mereka temanku di kota ini, mengingat kesibukanku tinggi, dan mereka temanku satu-satunya karena kami tergabung dalam satu kelompok belajar.

Itu sebabnya mereka mengetuk pintu apartemenku sekarang.

Aku membuka pintu, Soobin berdiri di luar tanpa Yeonjun.

“Mana Yeonjun?”

“Dia ditelepon untuk menggantikan rekan kerja part time-nya,” sahut Soobin. “Dia tidak bisa datang malam ini.”

Aku melebarkan pintu untuk mempersilakan Soobin masuk. Begitu Soobin melewati ambang pintu, di seberang lorong Jimin membuka pintu apartemennya. Dia mematung ketika tatapan kami bertemu.

Tatapan Jimin menyanderaku beberapa detik hingga tatapannya bergeser ke atas bahuku dan mendarat pada Soobin.

Aku menatap sekilas pada Soobin, yang menatapku sambil melengkungkan alis. Dia pasti tahu terjadi sesuatu, jadi dengan sikap hormat dia masuk ke apartemenku.

“Aku akan menunggu di kamarmu, Yeo.”

Soobin sungguh baik hati, menawariku privasi dengan pria di seberang lorong. Tetapi, mengumumkan dia akan menunggu di kamarku mungkin bukan pertunjukan rasa hormat yang ingin disaksikan Jimin, karena dia mundur dan masuk lagi ke apartemennya.

Tatapan Jimin turun ke lantai sesaat sebelum dia menutup pintu.

Ekspresi di wajah Jimin mengirim tusukan rasa bersalah langsung ke perutku. Aku harus mengingatkan diri bahwa ini pilihan Jimin. Aku tidak perlu merasa bersalah, sekalipun dia keliru menafsirkan situasi yang terjadi ketika membuka pintu.

Aku menutup pintu depan dan menyusul Soobin di kamarku. Monolog yang berusaha kubangun dalam hatiku tidak berhasil menghalau perasaan bersalahku. Aku duduk di ranjang, Soobin duduk di kursi.

“Tadi itu aneh,” katanya sambil mengamatiku. “Sekarang aku agak takut meninggalkan apartemenmu.”

Aku menggeleng. “Tidak usah khawatir tentang Jimin. Dia punya masalah, tapi masalahnya bukan lagi masalahku.”

Soobin mengangguk dan tidak bertanya lebih jauh. Dia membuka buku panduan belajar dan meletakkannya di pangkuan sambil mengangkat kaki ke ranjang.

“Yeonjun sudah membuat catatan untuk bab dua, jadi jika kau bersedia membuat catatan untuk bab tiga, aku akan menggarap bab empat.”

“Sepakat,” sambutku.

Aku beringsut untuk bersandar ke bantal dan menghabiskan sejam berikutnya menyiapkan catatan untuk bab tiga, tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa berkonsentrasi, karena yang bisa kupikirkan hanya ekspresi yang melintas di wajah Jimin sebelum menutup pintu. Aku yakin dia sakit hati.

Bad LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang