Tigapuluhdua

141 18 77
                                    

Yeorin.

.

Tanganku memegang Jimin, mengusap punggungnya, menyentuh rambutnya.

Dia menangis, dan yang bisa ku lakukan hanya berkata tidak apa-apa. Aku ingin menyuruh Jimin melupakan semua yang kukatakan malam ini.

Aku ingin melakukan apa pun sebisaku untuk mengenyahkan kepedihan ini dari Jimin, karena apa pun yang terjadi seharusnya tidak penting. Apa pun yang terjadi, tak seorang pun layak mengalami emosi yang dia rasakan saat ini.

Aku menyingkirkan tangan Jimin dari wajahnya, lalu duduk di pangkuannya. Aku memegang wajahnya dan mengangkatnya menghadap wajahku. Jimin tetap memejam.

“Aku tidak harus tahu, Jimin.”

Jimin memeluk punggungku dan dia membenamkan wajah di dadaku. Napasnya yang berat berubah semakin cepat ketika dia mencoba menekan emosinya.

Aku memeluk kepalanya, mengecup rambutnya, lalu ciumanku turun ke sisi kepalanya hingga dia menarik wajah dan menatapku.

Tidak ada perisai yang cukup banyak dan tidak ada tembok setebal apa pun di dunia yang bisa menyembunyikan pancaran remuk-redam di mata Jimin saat ini. Ekspresi itu sangat kentara sekali, sehingga aku harus menahan napas supaya tidak ikut menangis.

Apa yang terjadi padamu, Jimin?

“Aku tidak harus tahu,” bisikku lagi sambil menggeleng.

Tangan Jimin pindah ke belakang kepalaku, lalu bibirnya menekan bibirku, kuat dan menyakitkan. Dia membungkuk ke depan hingga punggungku menempel di lantai. Tangan Jimin menarik bajuku, dia menciumku dengan putus asa, ganas, memenuhi bibirku dengan rasa air matanya.

Aku membiarkan Jimin memanfaatkanku untuk mengusir kepedihannya.

Aku rela melakukan apa pun yang Jimin ingin aku lakukan, asalkan dia berhenti merasakan kesakitan seperti yang dirasakannya saat ini.

Tangan Jimin menyelinap ke balik rokku dan menarik celana dalamku bersamaan aku mengaitkan ibu jari ke pinggul jins Jimin dan menariknya turun. Celanaku turun ke mata kaki, aku menendangnya hingga lepas bersamaan Jimin memegang tanganku dan menekannya ke lantai di atas kepalaku.

Jimin menempelkan dahinya ke dahiku tapi tidak menciumku. Dia memejamkan mata, aku tetap membuka mata. Dia tidak membuang waktu mempersiapkan diriku dan masuk.

Dahi Jimin bergeser ke samping kepalaku, lalu dia masuk perlahan. Setelah menyatu sepenuhnya, dia mengembuskan napas, melepaskan sebagian kesakitannya. Mengalihkan pikirannya dari kengerian entah apa yang baru dia alami.

Jimin keluar, lalu masuk lagi, kali ini menumpahkan segenap kekuatannya.

Sakit.

Berikan padaku kesakitanmu, Jimin.

“Astaga, Yoora,” bisik Jimin.

Astaga, Yoora..

Yoora.

Kata itu berulang-ulang dengan sendirinya di kepalaku.

Astaga.

Yoora.

Aku memalingkan kepalaku dari kepala Jimin. Ini kesakitan paling menyakitkan yang pernah kurasakan.

Sangat menyakitkan.

Tubuh Jimin menegang di dalamku ketika dia menyadari perkataannya barusan. Satu-satunya yang bergerak di antara kami saat ini adalah air yang menetes dari mataku.

“Yeorin,” bisik Jimin, memecahkan kesunyian yang melingkupi kami. “Yeorin, maafkan aku.”

Aku menggeleng, tapi air mataku tidak mau berhenti. Di suatu tempat di lubuk hatiku, aku merasakan sesuatu mengeras. Sesuatu yang dulu berbentuk cairan sekarang membeku sepenuhnya, dan saat inilah aku tahu itu masalahnya.

Bad LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang