chapter 6.

557 50 10
                                    

Pagi itu Rian merasa tidak enak badan, namun dia memaksakan diri untuk tetap bekerja, dia tidak ingin menyusahkan teman temannya yang lain.

Karena hari ini memang menjadi hari yang sibuk. Di setiap akhir bulan mereka akan mengecek semua barang dan produk yang masih ada di gudang dan melakukan pembukuan.

Rian masih dapat menahan rasa pusing dan lemas untuk beberapa saat. Namun saat semuanya hampir selesai pada sore hari itu. Tubuh Rian sudah tidak sanggup lagi. Tiba tiba saja Rian pingsan saat akan menyerahkan pembukuan ke atasannya.

"Ya ampun, Ian kamu kenapa?"

Anthony yang melihat Rian jatuh di depannya, seketika meletakkan pekerjaannya dan langsung menghampiri Rian.

"Babah, kevin, tolongin." Anthony berterik memanggil rekannya.

"Ya Allah, ada apa ini nik? "

"nggak tau bah, ini Ian tiba tiba pingsan."

"angkat ke kursi dalem aja dulu nik,"

"iya bah." jawab anthony

Pada saat yang bersamaan, Fajar datang untuk memonitor gudang (alibi ketemu Rian). Melihat keributan yang terjadi, Fajar segera menghampiri mereka.

"Ada apa ini?"

"Ini pak, Rian tiba tiba pingsan." adu anthony ke Fajar

"Ya ampun jom, kamu kenapa?" Fajar terlihat panik

Fajar langsung menghampiri Rian dan bermaksud untuk mengangkat tubuh Rian. Tapi kemudian dihalangi oleh Kevin.

"Bapak mau ngapain? Ian pasti kayak gini gara gara bapak." kata kevin kesal

"Apa maksud kamu?" fajar tidak mengerti apa yang dimaksud kevin.

"Semenjak bapak datang, Ian jadi berubah. Dia jadi pendiam dan pemurung, ini semua pasti gara gara bapak."

Ahsan yang melihat hal itu menghampiri Kevin dan menenangkannya.

"Vin kita nggak tau apa yang terjadi, kita nggak boleh menyimpulkan sendiri."

Kevin bersungut mendengar ucapan Ahsan. Dia kadung tidak suka dengan bos barunya itu. Dia tidak ingin temannya terlihat bersedih. Ahsan memandang ke arah Fajar.

"Anda mau apa pak? " tanya Ahsan

"Saya akan membawa Rian ke dokter, apa kalian mau melihat teman kalian seperti ini,"

"Baiklah kalau begitu, bapak boleh membawa Ian, tapi kalau sampai terjadi apa apa bapak akan tanggung akibatnya" tambah Ahsan dengan nada yang mengancam.

Fajar kemudian membopong Rian, dan membawanya ke mobil. Fajar menempatkan Rian di kursi depan dan memasangkan seatbelt. Fajar kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan untuk menuju ke rumahnya.

Ya Fajar membawa Rian ke rumahnya bukan ke rumah sakit. Fajar kemudian menghubungi dokter pribadinya untuk datang dan memeriksa Rian.

"Apa yang terjadi dok? Bagaimana keadannya" Fajar bertanya dengan nada cemas.

"Bapak tidak perlu khawatir, teman bapak hanya mengalami kelelahan dan sedikit demam"

"Jadi tidak parah kan dok?"

"Tidak pak, dia hanya butuh istirahat yang cukup, dan jangan terlalu banyak beban pikiran."

"Syukurlah kalau begitu." Fajar menghela nafasnya

"Saya sudah menyuntikkan obat agar demamnya cepat reda dan agar dia bisa tidur lebih nyenyak pak,"

"Terimakasih dok,"

"Sama-sama pak, saya permisi dulu."

Fajar memandang wajah Rian dengan seksama, wajah itu masih tampan, cantik kalau menurut Fajar. Wajah itu wajah yang sangat dirindukan Fajar. Dia tidak akan pernah bosan untuk memandangnya.

Hari sudah semakin sore, namun Rian belum bangun juga. Fajar yang duduk di depan tv mendengar suara telepon yang berdering. Tapi itu bukan miliknya itu milik Rian. Dengan segera Fajar mengangkat telepon tersebut.

Belum sempat Fajar menjawab, orang di seberang telepon sudah berbicara terlebih dahulu.

"Ian, kamu dimana? Jam segini kok belum jemput Aiq?"

Aiq? Siapa dia? Kenapa Rian yang harus menjemputnya, batin fajar dalam hati. Fajar masih mendengarkan suara di telfon itu.

"Aiq udah mulai nangis nih Ian, udah bingung nyariin kamu. Udah bingung ayah mana ayah mana."

Fajar terkejut mendengarnya. Ayah? Jadi Rian sudah menikah dan punya anak? Jadi Fajar sudah terlambat untuk mendapatkan Rian kembali?
Fajar merasa hatinya hancur berkeping - keping. Semuanya sia -sia.

"Halo, Ian, Ian, kamu dimana?

Fajar langsung menutup telepon tersebut, tanpa berkata apapun.

Fajar masuk ke dalam kamar dimana Rian tengah terlelap. Dia memandang wajah Rian, tanpa sadar air mata mengalir di pipinya.

"Kamu udah bahagia ya jom? Siapa wanita itu jom? Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu sudah menikah jom?

Fajar hanya bisa bergumam tanpa ada jawaban dari Rian.

Hari sudah malam, saat itu jam menunjukkan pukul 19.30 malam.
Dengan kepala yang masih berat Rian membuka matanya perlahan. Dia mengerjapkan matanya, berharap dapat melihat keadaan sekitar dengan jelas.

Rian mengernyitkn dahinya, ini bukan kamarnya, bukan juga ruang istirahat di gudang. Ruangan ini sangat mewah menurut Rian, dan dia heran mengapa dia bisa ada diruangn itu.

Rian hendak turun dari tempat tidur tersebut, saat tiba tiba seseorang membuka pintu kamar. Rian tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang itu, Fajar Alfian, berdiri didepannya. Jadi ini rumah Fajar.

"Kamu sudah bangun jom? " tanya Fajar

Rian hanya memandng Fajar tanpa berkata apapun. Fajar yang melihat kebingungan Rian menjelaskan apa yang terjadi.

"Kamu tadi pingsan jom, jadi aku bawa kamu ke tempatku, agar bisa diperiksa dokter ku." fajar mennjelaskan

"Terimakasih bapak sudah menolong saya, saya akan ganti biayanya besok."

Rian menjawab dengan nada datar tanpa memandang wajah Fajar. Rian mulai merapikan bajunya untuk bersiap pulang.

"Bukan gitu maksudku jom, aku khawatir sama kamu." lnjut Fajar

"Saya baik baik saja pak, dan mulai sekarang anda tidak perlu khawatir tentang saya lagi."

Fajar terdiam mendengar jawaban Rian. Ingin sekali Fajar bertanya pada rian tentang Aiq, siapa dia. Apa benar Rian sudah menikah dan punya anak?

Rian sudah berada di ambang pintu saat di mendengar pertanyaan Fajar.

"Aiq. Siapa dia?"

Rian berhenti, dia terdiam, darimana Fajar tau tentang Aiq.

"Darimana anda tau tentang Aiq?"

"Jadi benar kamu sudah menikah? "

"Ya saya sudah punya anak, jadi saya mohon jangan ganggu saya lagi."

Rian melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu, dia mengambil barang barangnya dan segera pergi dari rumah itu.

Setelah kepergian Rian, Fajar hanya bisa termenung. Dia sudah terlambat.


Bersambung

Permainan Takdir (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang