"Ambu bukannya percaya karma, tapi sepertinya apa yang sudah kita lakukan sama Hania dan Ryan berbuah seperti ini," ujar Ambu saat berdiskusi bersama dengan orang tua Ryan di sudut rumah sakit.
"Dulu kita larang mereka nikah muda dengan alasan sepele, klasik. Padahal niat keduanya baik, jadilah begini. Semua menderita, terutama Hania. Ambu teh kaduhung pisan!" Ambu tidak bisa menahan tangisnya. Isak tangis pun menggema di ruang tunggu depan kamar ICU.
"Tong ulah kitu, Ambu!" ujar Abah menenangkan.
"Semua yang sudah terjadi, ini merupakan cobaan untuk kita semua. Terlebih untuk anak-anak kita. Kita harus menguatkan Hania sama-sama. Jangan pisahkan dia lagi," jelas Abah.
Pandangan Abah pun menerawang jauh. Teringat kejadian 5 tahun lalu.
***
Gadis tomboy itu, berlari kencang di antara pepohonan teh. Langkahnya gesit dan lincah. Sebagai anak pemilik perkebunan teh, dia memang sudah terbiasa berlari-larian seperti itu di kebun, pada tanjakan dan turunan yang terjal sekalipun, tanpa takut tergelincir dan terjatuh.
"Mamaah! Mamah Aa'!" teriaknya sambil menuruni turunan yang tidak terlalu landai yang dibatasi pohon pinus dan sebuah batu besar.
Seorang wanita berusia sekitar 40-an tahun, menghentikan aktivitasnya menyapu halaman depan rumahnya yang mungil namun tampak asri.
"Hania, hati-hati! Tong lararian kitu atuh! Mamah teh ngeri kamu jatuh!" ungkap wanita itu cemas.
Gadis yang dipanggil Hania itu tertawa dengan napas terengah-engah.
"Aa' mana, Mah?" tanya Hania sembari celingak-celinguk.
"Ya kuliah jam segini, mah? Kamu kok udah pulang sekolah jam segini?" tanya Mamah sambil melanjutkan menyapu.
"Oh, si Mamah teh lupa. Hari ini Dede kan lulus-lulusan. Coba tebak, Dede lulus apa gak?" tanya Hania cengengesan.
"Lulus!" jawab Mamah singkat.
"Iiih ... Mamah teh gak ngucapin selamat atuh sama Dede?" Hania menguncang-guncang tubuh Mamah. Wanita itu pun tertawa geli.
"Tunggu ya, Mamah punya hadiah buat kamu!"
Mamah meletakkan sapunya, lalu beranjak masuk ke dalam rumah.
Hania tersenyum sendirian kemudian mengambil sapu lidi yang tergeletak lalu melanjutkan pekerjaan Mamah. Meskipun itu bukan Mamah kandungnya, Hania sudah merasa jadi bagian dari keluarga itu.Mamah dan Ambunya adalah sahabat sejak kecil. Begitu dekatnya, hingga setelah menikah pun rumah mereka enggan berjauhan. Anak-anak mereka pun dekat layaknya kakak beradik. Saling menyayangi, saling menjaga, hingga keduanya merasa lebih dari sekedar saudara.
Suara knalpot motor Ninja tiba-tiba terdengar bising. Tapi gadis itu malah sumringah. Dia tahu persis yang baru tiba.
"Aa' Ryan!" pekiknya sambil melempar sapu dari tangannya.
Pemuda yang mengendarai motor mematikan mesin lalu membuka helmnya. Tampak wajah tampannya yang bersahaja agak sedikit murung.
"Aa' aku lulus!" teriak Hania bahagia. Namun Ryan terlihat biasa saja.
"Iya tau!"
"Kok gitu doang jawabannya?" Hania tersipu malu.
Ryan memejamkan mata sejenak, "Aa' lagi cape, mau tidur dulu!" Kemudian bergegas meninggalkan Hania.
"Eeh ... kok gitu? Aa' lupa ya janji Aa' Kalo aku dah lulus?" Hania menghadang dengan kedua tangannya terbuka lebar.
Ryan tertunduk terdiam, wajahnya tampak tidak menyenangkan.
"Aa' inget ... cuma ... kayaknya ... Aa' gak bisa!"
"Gak bisa gimana maksud Aa'?!"
Ryan memandangi gadis tomboy di hadapannya. Sesaat dia ragu ingin berkata, ada rasa yang mengganjal. Tapi dia ingin semua berakhir dengan segera.
"Aa' gak jadi ngelamar kamu, dek," ujarnya sendu.
"A-apa? Ke-napa? Kan Aa' dah janji, klo aku dah lulus SMU kita nikah, kuliah bareng, wisuda sambil gendong bayi. Itu kan rencana kita?"
Wajah Hania mulai memerah, bukan ... dia bukan sedih, tapi amarah mulai menjalar ke sekujur tubuhnya.
"Jangan bahas sekarang ya!" ujar Ryan malas.
"Enak aja! Aa' juga dah janji mau ngelamar aku dengan cara romantis! Mana?! Kapan?!" Napas Hania menderu.
"Aku gak bisa ...," jawab Ryan lesu.
"Iya, tapi kenapa? Jangan gak jelas gini dong! Emang enak diginiin?!"
"Aku udah dijodohin sama orang lain! Ngerti gak!"
Jawaban Ryan membuat Hania tersentak.
"Kata siapa?! Mamah tadi gak ngomong apa-apa, kok!" Hania malah semakin nyolot.
"Tanya saja Abah sama Ambu! Udah kamu pulang sana! Ribet tau gak! Anak kecil minta kawin!" Ryan Tak kalah emosinya.
"Apa lo bilang? Jangan sembarangan ngomong lo ya! Lo tuh yang dah PHP in gue!"
'Bukk'!
Sebuah pukulan mendarat di perut Ryan. Pemuda itu pun tersurut ke belakang beberapa langkah.
"Tuh lihat! Cewek sadis! Siapa yang mau nikah sama lo, tomboy!"
Perkataan Ryan makin membuat Hania emosi. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi pun tidak bisa dihindari. Mereka yang biasa saling canda, kini serius berkelahi.
"Hei! Hei! Berentiii! Aya naon etaa?" Mamah yang baru saja keluar dari rumah, terkejut dengan kelakuan kedua muda-mudi itu. Dia mencoba melerai keduanya. Tapi perkelahian itu tidak bisa dihentikan. Hingga akhirnya, perempuan itu mengambil selang dan menyemprotkan air ke arah mereka.
Hania dan Ryan kelagapan, tapi setidaknya usaha Mamah membuah hasil. Perkelahian mereka terhenti.
"Iyeu kunaon? Kenapa kayak kucing berantem harus disebor air dulu baru berenti! Aya naon eta? Nteu tiasa kalian berantem kayak gini.
"Itu ... Aa' jahat!" seru Hania sambil menunjuk ke arah Ryan yang basah kuyup.
"Kamu tuh, mukul duluan! Cewek macam apaan kek gitu?!"
"Ya Allah Gusti diaaam! Diam kalian berdua!" Mamah tidak tahan ikut berteriak.
Tiba-tiba semua hening, kemudian lamat-lamat terdengar isak tangis dari mulut Hania.
"Hania, kamu kenapa?" tanya Mamah heran.
"Mah, emang beneran? Aa' dah dijodohin ke orang lain?" Yang ditanya melirik ke Ryan. Wanita itu pun hanya bisa menghela napas.
"Kamu dah bilang emangnya, A'?" tanya Mamah. Ryan mengangguk lemah.
Melihat itu, hati Hania makin terluka.
"Kenapa ... kenapa ngomongnya baru sekarang? Dulu-duluh enggak. Aa' malah ngasih harapan ke aku. Tapi kenapa malah begini ... tukang bo'ong dasar! Gue benci sama lo!" ucap Hania bersungut-sungut.Gadis itu pun kemudian berlari kencang menjauh. Membawa kepedihan, derai air mata, dan kemarahan yang tiada tara. Dia terus berlari mendaki menerobos pepohonan teh yang baru saja pucuknya dipetik. Para pekerja kebun pun kebingungan melihat Hania yang berlari sambil berderai air mata. Padahal tadi sewaktu pergi ke rumah Ryan, wajahnya begitu berbinar dan menyiratkan kebahagiaan.
Andai saja mereka tahu perasaan gadis itu saat ini. Ibarat daun-daun teh yang telah terkumpul dalam keranjang di punggung, jatuh berserakan dalam kubangan air keruh yang bercampur kotoran sapi. Marah, kecewa dan sedih menjadi satu. Baru kali ini Hania merasa hatinya remuk redam. Seorang gadis pemberani dan mandiri, kini seperti hilang kekuatan. Kekuatan hatinya makin melemah saat isak tangis semakin kuat terdengar di tepi danau yang berpagar ilalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Kacang dan Secangkir Teh
RomanceUntuk meraih kembali cinta yang hilang dan terlupa, seorang gadis berjuang dan bertahan dengan bantuan kue kacang dan secangkir teh. Akankah dia temukan cintanya kembali?