17. Kehilangan

52 3 4
                                    

Hania dan Ryan menatap Cafe bercat kuning lemon di hadapannya. Dia tampak terperangah, tidak percaya, gedung yang ada dekat rumahnya ini adalah Cafe yang sebentar lagi akan diresmikan oleh pemiliknya.

"Ini cafe kita, Cafe de Lemon," ujar Ryan pada Hania.

Mata Hania berbinar kagum melihat indahnya desain interior yang dibuat Ryan. Sungguh apik dan mengesankan.

"Setelah resepsi, kita resmikan cafe ini," ucap Ryan lagi.

"Ran, kamu datang kan pas resepsi?" tanya Hania pada Rani yang sejak tadi sibuk dengan bawaannya.

"Pokoknya kalo sidang skripsi dah selesai, kamu ajak aku kemana aja, ayuklah. Ajak bulan madu juga boleh, hihihi," ujar Rani bersemangat.

"Sudah siap semua?" tiba-tiba Abah muncul dari balik pintu.

Yang merasa ditanya hanya tersenyum. Hania dan Rani segera masuk ke dalam mobil.

"Yan, kamu jalan sekarang juga?"

"Iya, Bah. Sudah janji sama pengelola gedungnya."

"Coba resepsinya outdoor aja, kan gak perlu sewa gedung." Kepala Hania tiba-tiba muncul dari jendela mobil.

"Musim hujan gini, neng geulis!" jawab Abah spontan.

"Hati-hati, Yan. Dah mau hujan nih!" ucap Abah sambil mendongak ke langit yang mulai berubah abu-abu.

"Insyaallah, Bah! Ran, fii amanillah yaa!" Ryan menengok ke dalam mobil. Tampak Rani melambaikan tangannya sambil tersenyum.

Mobil abah pun melaju perlahan memasuki jalan raya.

"Han, sekarang kamu dah bahagia, Kan? Berarti misiku dah selesai sampai sini. Karena dah ada orang yang tepat yang nemenin kamu seumur hidup." Rani merangkul Hania dengan haru.

"Ngomong apa sih, Ran? Kamu harus dampingi aku dulu, sampe aku dapetin suami yang cocok buat kamu. Catet, ya." Hania membalasa pelukan Rani. Kedua sahabat yang saling menyayangi layaknya saudara itu, akhirnya berpisah di depan gerbang terminal.

"Ran, maaf ya. Aku gak bisa ngasih dukungan pas sidang nanti."

"Jaman dah canggih madam, tinggal telepon, video call, beres, kan? Tapi yang lebih penting dari itu semua. Ada namaku yang kamu sebut dalam tiap doamu ya, Han."

Tangis pun pecah, tatkala keduanya saling berpelukan untuk terakhir kalinya.

*

Motor yang ditumpangi Ryan menderu kencang di atas aspal yang mulai basah tertimpa tetes hujan. Tanpa ragu Ryan terus menerobos ribuan tetesan air yang turun dari langit itu. Sudah hampir tiba di gedung yang sudah disewanya untuk resepsi via telpon kemarin. Mungkin tanggung, pikirnya.

Ryan sudah membayangkan acara resepsi yang sederhana namun meriah. Teman-teman kuliahnya dulu, sudah siap untuk menyulap ruangan resepsi menjadi taman outdoor. Itu kejutan yang akan diberikan kepada Hania.

Sebagai mahasiswi desain outdoor, Hania memang menginginkan suasana alam di acara resepsi pernikahannya. Daun-daun hijau, bunga-bunga aneka warna, rumput-rumput ilalang, dan suara gemericik air, menjadi bagian  dari dekorasi yang diimpikan Hania. Sayang, sekarang musim hujan, tidak mungkin rasanya memaksakan diri untuk melakukan hajat di tempat terbuka.

Namun, bukan Ryan namanya, bila tidak bisa mengabulkan keinginan istri yang sudah sejak kecil ditaksir. Ryan rasa, Hania akan menyukai kejutan ini.

Gedung resepsi sudah beberapa meter di depan Ryan. Lampu sen kanan sudah menyala, tanda motor siap untuk belok. Namun, dari arah berlawanan, sebuah sedan melaju kencang tanpa peduli apa yang sedang melintas di depannya.

Mobil itu menyeruduk motor Ryan tanpa ampun. Menyeretnya hingga puluhan meter sebelum melambungkan tubuh Ryan, yang akhirnya mendarat keras di atas aspal yang basah. Kemudian menggilas kaki Ryan hingga suara gemeretuk tulang terdengar mengerikan. Mobil itu pun akhirnya berhenti, saat motor yang diseretnya menabrak sebuah pohon besar di tepi jalan.

Tiba-tiba suasana hening. Hanya deru air hujan yang semakin deras mengguyur dan suara klakson serta alarm mobil yang memekikkan telinga. Jalanan itu sepi.

*

Dering gawai Hania terdengar syahdu. Suara lantunan shalawat yang dipilihnya sebagai nada, menghentikan aktivitasnya sesaat.

"Halo, assalamualaikum," sapa Hania.

"Iya betul," jawab Hania.

"Apa? Ya ... Allah!"

Hania segera meraih kunci mobil setelah mengatakan tentang kecelakaan kepada Ambu dan Abah. Tidak butuh waktu lama bagi ketiga orang itu untuk bergegas masuk ke dalam mobil. Abah menyetir dengan tangkas di bawah guyuran hujan.

Setengah jam perjalanan untuk sampai di rumah sakit. Hania berlari kencang ke bagian IGD, sesekali bertanya, hingga akhirnya, pertanyaannya membawa Hania menemui sebuah tubuh yang telah terbungkus kain putih di ruang jenazah.

Jantung Hania berdegup kencang. Peluh telah turun melewati pelipisnya. Tubuhnya gemetar saat tangannya perlahan membuka kain penutup jenazah yang berbaring di hadapannya.

Airmatanya tumpah, tubuhnya lunglai, tatkala melihat sosok yang telah dikenalnya selama empat tahun itu terbujur kaku dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

"Raniiiii ..., Ya Allaaah! Raniii ...!"
Hania histeris seorang diri di ruangan yang dingin itu. Napasnya sesaat sesak, air matanya terus deras mengalir. Tidak tahan dengan kenyataan di depan matanya.

"Jangan pergi Raniiii ... Kenapa tinggalin akuuu!"

Abah terhenyak menyaksikan kesedihan putrinya. Dia juga ikut merasakan kehilangan. Rani sudah dia anggap anak sendiri selama ini. Abah sadar, jasa Rani terhadap perubahan Hania, sangat besar.

Ambu tak kalah sedih. Dia bahkan tidak sanggup mendekati jenazah Rani. Tidak sanggup menenangkan putrinya yang baru saja kehilangan penyemangat hidupnya. Bagi Ambu, Rani bagaikan putrinya yang lain yang baru ditemukan. Namun kini diambil kembali oleh Sang Khaliq.

"Han, sekarang kamu dah bahagia, kan? Berarti misiku dah selesai sampai sini. Karena dah ada orang yang tepat yang nemenin kamu seumur hidup."

"Tapi yang lebih penting dari itu semua. Ada namaku yang kamu sebut dalam tiap doamu ya, Han."

Tangis Hania mereda, tatkala kata-kata itu kembali terngiang di telinganya. Dia baru sadar, itu bukan sekadar kata-kata nasehat semata, tapi sebuah tanda perpisahan dari orang yang disayanginya.

Perlahan Hania membelai kepala Rani yang masih berhijab, masih sama seperti saat dia mengantar gadis berkacamata itu ke terminal. Gadis itu tersenyum, melihat lukisan bibir Rani yang menampakkan kebahagiaan.

Mungkin Rani sudah syahid sekarang. Harusnya dia tidak perlu menangisi sahabatnya seperti tadi, pikirnya. Yang harus dipikirkannya ke depan, bagaimana cara agar dia dan Rani dapat dipertemukan kembali dalam jannah-Nya. Hania segera mengusap air mata yang tersisa, lalu kembali menutup jenazah Rani dengan kain putih.

Langit masih mengguyurkan air di luar sana. Warnanya yang abu-abu belum juga menghilang. Biarlah alam ikut berduka atas kehilangan gadis salihah. Bisa jadi awan-awan kelabu itu adalah iringan para bidadari yang sedang menjemput ruh Rani menuju keabadian.

Hania memeluk kedua orang tua yang telah lama memperhatikannya dari ambang pintu ruang jenazah. Sayup-sayup terdengar suara kedua orang tua itu masih terisak meluapkan duka. Kekuatan hati yang telah diajarkan Rani kepadanyalah, yang kini mampu menenangkan kedua orang tua yang dikasihinya itu, dengan kata-kata cinta.

"Rani sudah tenang ... jangan sedih lagi, yaa ...."

Kue Kacang dan Secangkir TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang