13. Keputusan

46 5 1
                                    

Hania menatap dirinya di depan cermin kecil yang tergantung di dinding kamarnya. Kepalanya tertutup selembar kain bermotif bunga-bunga yang baru saja dibelinya di pasar dekat kosan. Murah, cuma 15 ribu selembar.

Sudah hampir setengah jam dia berkutat dengan kain segi empat itu. Namun kain itu seperti tidak bisa diajak kompromi agar menempel dengan indah di kepalanya. Pletot sana, pletot sini, bentuknya pun sudah tidak karuan. Akhirnya kain itu dihempaskannya ke kasur saking kesalnya.

Tiba-tiba gawainya berbunyi, panggilan suara dari Ambu tercinta.

"Assalamualaikum Han, Ambu udah transfer uang ya, buat beli baju kamu," suara Ambu dari gawai.

"Ya, mbu, makasih banyak yaaa," jawab Hana sumringah.

"Kamu kapan pulang, Han? Ini udah hampir setahun kamu gak pulang. Lebaran ini kamu pulang ya," suara Ambu mulai terdengar parau.

"Nngg, gimana ya, Mbu. Hania bingung. Gak bisa kayaknya, Mbu. Kan barengan mau UAS. Ambu aja atuh kemari jenguk Hania, Hania juga kangen Ambu."

"Kamu kayak gak tau Abah kamu aja, tiap hari sibuk ngurusin pabrik teh. Mana bisa ke Jakarta? Ambu juga gak mungkin sendirian ke sana."

"Abah sama Ambu kalo gitu doain Hania aja, biar UASnya lancar. Insyaallah liburan semesteran Hania usahakan ke sana, sekalian mau kasih kejutan," ucap Hania sambil kembali mengenakan kain motif bunga di kepalanya dengan wajah tersenyum.

"Ya udah, nanti Ambu coba omongin ini ke Abah, semoga ujian kamu lancar ya, Han! Oya satu lagi ...," ucap Ambu tersendat.

"Orang tua Ryan sudah pindah ke Mega Mendung,"

"Ooh," jawab Hania singkat. Sudah lama dia sudah melupakan lelaki itu. Sudah hampir berhasil melupakan lebih tepatnya, sampai Ambu ingatkan lagi hari ini.

"Ryan nge-kos deket kampusnya. Jadi kalo kamu pulang, aman gak ada dia."

Hania tidak bisa menahan tawanya, "Ambu, aya-aya wae. Mau ada dia di sana atau gak, udah gak ngaruh lagi sama Hania."

"Beneran kamu udah lupain dia?" tanya Ambu heran mendengar perubahan Hania.

"Yang pasti sekarang, Hania lagi nikmatin hidup Hania di Jakarta. Nikmatin kuliah, nikmatin jadi perempuan beneran hehehe. Nikmatin hidup mandiri yang pasti."

"Alhamdulillah,  kalo begitu. Ambu seneeeng, kamu sekarang udah tambah dewasa," ujar Ambu.

Hania menghela napas panjang saat Ambu menutup obrolan di gawai. Wajahnya memandang langit-langit kamar yang polos. Foto Ryan sudah lama dia cabut dari sana.

Entah sudah berapa bulan dia sudah memerdekakan pikiran dan perasaannya dari lelaki itu. Sejak kepergiannya ke Jakarta dan tidak mendapat kabar apapun dari Ryan, Hania akhirnya pasrah dan berdamai dengan apa yang telah ditetapkan untuknya. Benar apa kata Rani dan Nini Enung waktu itu. Belum tentu yang dipandang buruk oleh dirinya adalah sebuah keburukan. Ternyata memang Allah ingin merencanakan suatu kebaikan untuk Hania.

Pertemuan dengan Rani yang menimbulkan banyak diskusi tentang syariat Islam, membuat dia tersadar bahwa dia belum jadi muslimah seutuhnya. Banyak yang harus dibenahi.

Namun hari ini, Ambu malah mengingatkan kembali soal Ryan hingga masa lalunya terbersit pahit. Namun gadis itu segera menepis ingatannya. Hania tidak mau peduli lagi, saat ini yang ingin dilakukan olehnya hanyalah perbaikan diri. Sudah beberapa bulan ini dirinya banyak berpikir tentang diskusi dia dan Rani soal hijab.

Kue Kacang dan Secangkir TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang