18. Duka yang Bertubi

26 3 2
                                    

Ruang IGD tampak ramai dan sibuk. Belasan orang yang terluka, baru saja tiba dengan beberapa ambulan. Kecelakaan bus yang ditumpangi Rani, menelan banyak korban luka parah. Namun hanya satu yang meninggal, dialah Rani. Takdir maut telah memilihnya untuk kembali ke hadirat Tuhannya.

Pihak yang berwenang menginformasikan, bahwa bus yang ditumpangi Rani tergelincir dari bahu jalan dan masuk ke dalam jurang. Meski jurang itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat bus itu ringsek karena terhempas bebatuan tebing jurang dengan keras.

Hania telah menenangkan hatinya, orang tua Rani di Balikpapan harus segera dihubungi. Namun batinnya bergejolak, bagaimana memulai kabar duka itu pada dua orang tua yang justru dengan penuh harap menanti kabar kelulusan putrinya. Tiga hari lagi sidang skripsi itu digelar, tapi kabar duka yang justru sampai. Bagi Hania ini lebih berat dari sekedar merasa kehilangan.

"Astaghfirullahaladziim ...." Bahu Hania terguncang, tangannya gemetar saat mencoba menelepon.

Dengan langkah gontai, Hania keluar dari kamar jenazah. Mungkin akan lebih menenangkan hatinya. Namun belum sempat menekan tanda panggilan, beberapa paramedis kembali mendorong sebuah brangkar dengan cepat menuju IGD.

Hania melihat sekilas sosok yang terbujur di atas brangkar itu. Jaket biru dongker yang tidak asing baginya.

"Aa' ...?" Suara itu keluar dari mulutnya. Lalu tanpa pikir panjang lagi, Hania segera berlari mengejar.

"Aa' ... A' Ryan!" panggilnya, setelah memastikan orang itu adalah Ryan.

"Maaf, teh. Tidak diperkenankan masuk ke dalam ruang IGD," ucap seorang security yang menghadangnya di pintu masuk IGD

"Itu ... suami saya!"

"Biarkan dokter yang menangani. Teteh silakan tunggu di sini."

Hania kembali terguncang, belum kering air matanya meratapi kepergian sahabat sejatinya. Kini dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat lelaki yang baru dua hari menikahinya, terbujur bersimbah darah.

Hania terisak kembali, seorang diri di ruang tunggu di IGD. Dia tidak peduli semua mata memandang ke arahnya. Mata-mata yang sama khawatir dengannya. Menunggu kepastian tentang hidup dan mati kerabatnya.

*

Mata perempuan muda itu sembab kemerahan. Tangannya melambai lemah ke arah mobil yang baru saja meninggalkan rumah sakit. Dia mencoba tersenyum, tapi berat.  Ujian yang kini dihadapinya, tidak seperti sebelumnya.

"Rani ...," ucapnya lirih. Tetesan bening mulai merambah ke pipinya yang ranum.

Sebuah tangan merengkuhnya dengan kehangatan.

"Mari kita urus Ryan sekarang," ucap abah.

"Iya, Bah."

Hujan mengguyur lagi di atas atap rumah sakit. Orang-orang di luar berlarian ke dalam mencari perlindungan. Suara hilir mudik brangkar dan suara riuh orang-orang tidak terdengar di telinga Hania. Dia merasa sunyi, senyap, seorang diri.

"Han, Ryan akan dioperasi hari ini, kakinya harus diamputasi karena sudah tidak bisa diselamatkan lagi,'' ucap Papa menjelaskan.

''Kamu yang tabah ya, Nak! nanti kamu yang harus menguatkan Ryan saat dia sadar nanti,'' ujar Abah menambahkan.

''Allah akan menguji hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya, Han. Allah sudah milih kamu untuk melewati semua ujian ini, karena Allah tau kamu bisa melewatinya,'' jelas Papa lagi.

''Hania bisa apa, Pa, Insyaallah. Hania sudah pasrahkan diri ke Allah.''  Hania berucap lirih. Senyuman terpaksa melingkar di wajahnya. Logikanya telah mengalahkan emosinya yang kemarin meluap tak tertahan.

Kue Kacang dan Secangkir TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang