14. Tak Terduga

52 4 38
                                    

"Hadirin wal hadiraat, mari Kita dengarkan materi yang akan di sampaikan oleh Ustadz Muhammad Ryan Rantisi."

Hania terpana mendengar nama itu, degup jantungnya tidak normal. Perasaannya campur aduk, entah bahagia, rindu atau benci. Dia belum bisa mendiskripsikan perasaannya sendiri. Yang ada hanya kegalauan menghampiri setiap gurat di wajahnya, meski dia mencoba untuk bersikap biasa saja.

Ryan mulai memaparkan materi dalam kajian itu, tentang Konsistensi dalam Ibadah. Sebuah materi yang tidak disangka Hania akan dibawakan oleh lelaki yang sudah dikenalnya sejak kecil.

"Sedikit menggelikan mendengar kata konsistensi dari orang yang tidak konsisten terhadap ucapannya," batin Hania.

"Astaghfirullah, itu kan empat tahun lalu. Aku aja berubah, pasti dia juga berubah. Mungkin lebih matang dari Aku," batin Hania lagi menepis pikiran masa lalunya.

Dia pun teringat tugasnya sebagai sie dokumentasi. Maka tanpa merasa jengah sedikitpun dia mulai beraksi sana-sini. Membidik peserta dari berbagai angle dan tentu saja si pembicara, yang selalu menatapnya dengan senyum saat di foto.

"Ih, sadar kamera!" gerutu Hania pelan.

Rani yang sejak tadi sibuk di bagian registrasi menghampirinya.

"Kenapa Han?"

"Ada yang ge'er Aku foto," ucap Hania cekikikan sambil menunjukkan hasil bidikannya ke Rani.

"Aah, bukannya kamu yang ge'er? Bisa aja kamu, dia sebenarnya lagi lihat peserta di depan kamu tuh, Han?" ujar Rani sambil terkikik geli.

"Eh, foto akhwatnya belum, ikhwan mulu yang di foto." Rani menyenggol tubuh Hania pelan. Hania meliriknya,

"Aku lagi nyari jodoh buat kamu!" ucap Hania asal sambil ambil langkah ke arah peserta akhwat.

"Astaghfirullah, Han! Eh ... alhamdulillah!" Mau marah tidak jadi, akhirnya Rani senyum-senyum sendiri.

Mungkin sudah kodratnya perempuan, di mana pun dan kapan pun, obrolan itu selalu asik. Buktinya saat Hania tiba di tempat peserta akhwat, tidak setenang para peserta pria. Memang tidak semua, baris depan adalah para peserta yang serius mendengarkan kajian, tapi Makin ke belakang, suara bisikan terdengar sayup-sayup.

Ada yang saling menyapa karena lama tidak berjumpa, ada yang saling curhat tentang diri masing-masing, . ada juga yang membicarakan tentang pemateri.

"Eh, itu kan senior Aku di ITB, dia sering juga ngisi kajian di masjid Salman," kata sesembak berhijab merah pada kawan-kawannya.

"Ooh, masa? Angkatan berapa?" tanya temannya yang berhijab pink.

"Lulusan dua tahun lalu?"

"Udah nikah belum, ya?" tanya temannya yang lain.

Pertanyaan yang terdengar oleh Hania ini, membuat dia juga ingin tahu. Kepo maksimal, tapi tetap bersikap normal. Tangan dan matanya bekerja, tapi telinganya bersiap mendengar pembicaraan itu. Profesional!

"Dulu ... Aku pernah mau proses ta'aruf sama dia," ucap perempuan berhijab merah tadi.

Keempat perempuan yang berada di kanan kirinya terperanjat, tapi buru-buru mengecilkan volume suara mereka. Hania pun sempat tertegun mendengarnya. Namun sekali lagi, dia adalah fotografer profesional di sini.

"Trus ... trus ...?" tanya mereka kompak.

"Katanya dia udah punya calon istri."

Tetiba semua perempuan itu terdiam dan tidak lagi melanjutkan diskusi. Beda dengan Hania yang wajahnya mengalami sedikit perubahan. Dia tersenyum dengan wajah memerah jambu.

Kue Kacang dan Secangkir TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang