Hania sudah siap untuk berangkat. Koper-kopernya sudah dikemas sejak malam. Dia sudah bertekad kuat untuk kuliah di Jakarta, mengambil jurusan Eksterior Desain di salah satu Institut ternama di Jakarta.
Awalnya di sudah berencana untuk kuliah di Bandung, di Institut Tehnik tempat Ryan kuliah saat ini. Rencananya begitu mulus, menikah muda, sama-sama kuliah dengan pasangan halal. Wisuda sudah sambil menggendong bayi. Impian yang mereka rencanakan begitu manis, namun dihancurkan dengan pahit oleh Ryan sendiri.
Tidak hanya itu, tampaknya Abah juga tidak mau Hania terlalu cepat menikah. Abah ingin Hania lulus kuliah dulu. Abah khawatir pernikahan muda akan membuat kuliah Hania berantakan. Apalagi Ryan juga belum lulus kuliah, belum mempunyai pekerjaan yang berarti alias belum mapan untuk membina rumah tangga. Hanya proyek-proyek desain dari dosennya yang kadang membuat dia berpenghasilan lumayan untuk seorang mahasiswa tingkat tiga. Itu pun kadang-kadang.
Hania merasakan sebuah konspirasi telah terjadi dalam kehidupannya. Konspirasi yang diciptakan orang tuanya dan Ryan. Tidak mungkin rasanya Ryan dijodohkan orang lain selain dirinya. Mungkin ini cuma cara memisahkan mereka, agar menikah di waktu yang tepat.
"Nikah itu bukan cuma perkara cinta Han, tapi juga kesiapan materi dan ruhani," ujar Abah menjelaskan.
"Abah tau niat kalian baik, menikah cepat untuk menghindari fitnah. Tapi ya dipikir juga. Kamunya aja masih pecicilan kayak anak kecil gitu! Liat tuh penampilan kamu! Gak cocok jadi istri apalagi ibu!"
Teganya Abah mengatakan itu pada Hania. Hania juga paham kelakuannya yang kekanakan, kelaki-lakian harus diubah. Dia juga sudah berjanji pada Ryan untuk mengubah banyak hal setelah menikah. Tapi seakan semua orang ragu padanya.
"Hania pamit, Bah, Ambu!" ucap Hania saat akan menaiki bus menuju Jakarta, sambil memeluk keduanya.
"Beneran Hania gak papa gak dianter? Ambu ikut, ya anter Hania!" ucap Ambu sambil menangis melepas kepergian Hania. Gadis itu bahkan tidak sedikit pun terlihat sedih.
"Hania udah gede, Ambu. Lagian nanti juga sampe Jakarta di jemput Teteh Ratmi. Ambu gak usah khawatir."
Derai air mata Ambu semakin deras saat mendengar kata-kata Hania. Dia merasa anak gadisnya sudah tidak memerlukan dirinya lagi. Ada perasaan menyesal di hatinya. Sedangkan Abah, terlihat seperti tidak peduli. Tapi Hania tahu, wajah tegas itu sedang menahan kesedihan yang sama seperti Ambu. Sedih karena anak gadis semata wayangnya menolak diantar ke Jakarta.
Sebuah mobil sedan berhenti tepat di samping bus di terminal itu. Sepasang orang tua datang bersama anak tunggalnya, siapa lagi kalau bukan Ryan dan orang tuanya. Kaki Ryan melangkah dengan cepat menuju bus yang sedang dinaiki Hania. Tangan kanannya menggenggam kotak kue berwarna oranye bermotif bunga.
"Dek, tunggu!" teriak Ryan.
"Hania menghentikan langkahnya menapaki anak tangga bus. Mimiknya acuh tak acuh saat tahu siapa yang memanggilnya.
"Dek, alhamdulillah belum jalan. Ini kue kacang kesukaanmu dari Mamah," ucap Ryan sambil menyodorkan apa yang dibawanya.
"Bawaan aku udah banyak, repot ah! Kasih Ambu aja!" tukas Hania sedikit bernada tinggi lalu segera masuk ke dalam bus.
Abah hanya bisa menelan ludah, sedangkan Ambu semakin sedih.
Langkah Hania pun terus maju menuju tempat duduknya. Sesaat pintu bus pun tertutup, dan roda-roda mulai berputar menggilas aspal.
"Masih marah rupanya dia," batin Ryan. Dia pun mengejar sosok Hania dari luar bus.
"Dek, ini kesukaan kamu, loh. Dibawa ya, Mamah dah bikinin buat kamu, pliis!" teriak Ryan sambil memukul-mukul badan bus yang sederetan jendela tempat Hania duduk.
Jangankan menjawab, menoleh pun tidak. Rasa nyeri di hati Hania belum sembuh. Tidak semudah itu melupakan perkataan Ryan. Mungkin Ryan bisa lupa apa yang telah diucapkannya, tapi bagi Hania itu seperti luka yang akan terus dibawanya, entah sampai kapan.
Bus pun mulai berjalan perlahan keluar dari terminal. Hari itu menjelang siang, tapi cuaca mendung sepertinya mendukung kesedihan di hati Hania. Dalam bus yang bergerak itu, Hania mulai menitikkan air mata. Buru-buru ditenggelamkan wajahnya dengan hoodie yang dikenakannya. Dia tidak mau orang lain tahu, hatinya sedih dan kecewa karena ternyata tidak ada satu orang pun yang menahan kepergiannya. Semua orang membiarkan dia pergi, terutama Ryan. Bahkan lelaki muda itu malah membekali dia dengan kue kacang.
"Brengsek!" gumamnya pelan.
"Apa, neng?" Seorang wanita tua di sampingnya terkejut mendengar gumamannya.
"Eh ... gak, Bu, bukan Ibu,"
Bus terus melaju melintasi jalan yang berliku. Sepanjang jalan, gadis itu hanya tergagu sambil menempelkan wajahnya di kaca jendela.
"Neng sedih, ya berpisah sama keluarga?" tanya wanita itu tiba-tiba. Hania memalingkan wajahnya ke arah wanita itu. Alisnya sedikit terangkat.
"Biasa itu mah, neng ... setiap pertemuan teh, ada perpisahan. Demikian juga sebaliknya. Hidup jangan dipusingin atuh, neng. Semangat terus berjuang, karena Allah sedang membuat rencana yang indah buat hidup kita."
Wanita itu tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Hania yang kebingungan dengan perkataannya. Namun apa yang dikatakan wanita itu ada benarnya juga. Manusia memang bisa berencana dengan baik. Tapi Tuhan sebenarnya juga punya rencana yang lebih baik buat hamba-Nya. Kadang yang dirasakan buruk sebenarnya mungkin itu yang terbaik dari Tuhan. Sedangkan yang dirasa baik bisa jadi itu sebuah keburukan yang ingin Tuhan hindarkan.
Hania mulai tersenyum sambil menatap wanita itu.
"Terimakasih, Bu. Kata-kata Ibu teh adem pisan di hati," ujar Hania sambil bernapas lega.
Kedua wanita beda usia itu sama-sama tersenyum lepas. Sesaat keduanya pun mulai akrab. Ternyata perjalanan yang dikira Hania akan terasa pahit, malah begitu menyegarkan hati dan pikirannya.
*
Ryan menatap sedih kotak kue di tangannya. Kemudian kotak itu dibuka. Tampaklah tumpukan kue kacang berbentuk hati tertata dengan rapi. Di atasnya terdapat sepucuk surat yang kini Ryan buka lipatannya.
Dedek,
Aa' sungguhan sayang Dedek ...
Orang yang akan dijodohkan dengan Aa' adalah Dedek sendiri.
Maafkan Aa' yang berpura-pura ...
Ini semua keinginan orang tua kita.Aa'-mu selalu siap menikahimu kapan pun. Tunggu Aa' ...
Ryan kembali menutup surat itu, lalu dimasukkan ya ke dalam saku jaket yang dikenakannya. Dia memandang ke arah jalan yang baru saja dilewati bus yang ditumpangi Hania. Perasaan sedih, marah dan menyesal berkumpul jadi satu. Dia sadar telah menyakiti hati Hania. Namun, sebagai seorang anak dan calon menantu, dia tidak bisa berbuat banyak untuk menentang keempat orang tua itu.
"Dia akan baik-baik saja," ujar Papah Ryan sambil memegang bahu putra semata wayangnya.
"Aku mau nyusul Hania, Pah," ujar Ryan dengan muka serius.
"Tong kitu, ini udah bagian dari kesepakatan perjodohan kalian. Kamu mau gak nikah sama Hania? Kalo masih mau nikah terhormat, turutin orang tua!"
"Papah tuh orang tua macam apa? Anak mau nikah dilarang!" ujar Ryan geram. Papah hanya tersenyum, dia tahu sekali watak putranya itu.
"Gak ada yang ngelarang. Kami tuh cuma ngarahin kalian biar masa depan kalian cerah."
"Ah ... dasar kolot!" Ryan semakin kesal lalu berlalu menuju mobil sedan yang terparkir tidak jauh darinya. Papah tertawa kecil melihat kelakuan Ryan.
"Belum dewasa udah minta kawin!" ujar Papah sambil mendekati istrinya yang sedang menghibur Ambu Hania yang masih saja menangis sendu. Wanita itu tidak tahu, dalam bus menuju Jakarta, Hania terlihat bahagia menyambut hidup barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Kacang dan Secangkir Teh
RomanceUntuk meraih kembali cinta yang hilang dan terlupa, seorang gadis berjuang dan bertahan dengan bantuan kue kacang dan secangkir teh. Akankah dia temukan cintanya kembali?