Mobil sedan itu telah tiba di pinggiran Kota Bandung. Langit sudah hampir gelap, tatkala tiga orang muda-mudi keluar dari mobil. Hawa dingin pun mulai menyergap saat langkah-langkah memasuki halaman rumah, yang banyak ditumbuhi pepohonan.
"Assalamualaikum, Ambu!" sapa Hania saat melihat Ambu sudah menyambutnya di ambang pintu. Dipeluknya wanita berusia 45 tahun itu dengan erat.
"Abah gimana?" tanya Hania dengan wajah tersinggah kecemasan.
"Waalaikum salam, itu ... Abah ada di dalam. Kata dokter boleh pulang tadi sore. Ayuk semua pada masuk."
Hania segera menghambur ke dalam. Pikirannya sudah kalut selama perjalanan tadi. Dia benar-benar takut membayangkan abah sakit. Air matanya sudah tumpah sejak melangkah masuk.
"Ambu, apa kabar, sehat?" sapa Rani pada Ambu dengan ramah. Rani memang telah mengenal keluarga Hania dengan baik. Tiga tahun pertemanannya dengan Hania, membuat keakraban tersendiri di keluarga itu. Ambu pun memeluk Rani dengan hangat.
"Alhamdulillah baik, makasih atuh udah nemenin Hania, ayuk ... ayuk masuk."
"Ambu, Papa Mama udah pulang?" tanya Ryan sambil meraih tangan Ambu, dan menciumnya
"Sudah, mereka yang bantu urus semua tadi di rumah sakit. Alhamdulillah ... pas banget mereka lagi ke sini. Sekarang mereka di rumah bawah, Ryan mau langsung pulang, apa mau ketemu Abah dulu?"
"Liat Abah dulu deh. Kenapa kata dokter, atuh?" tanya Ryan lagi sambil mengiringi langkah Ambu ke ruang tengah.
"Abah teh bikin kaget Hania, dikirain kenapa masuk IGD, cuma mules-mules karena kebanyakan makan sambel pecak gurame? Kumaha teh sih Abah? Bikin orang panik wae, sepanjang perjalanan Hania deg-degan mikirin si Abah. Eh eta di dieu lagi nyantai ngopi pake kue kacang. Iih sebel pisan!"
Hania berbicara dengan kecepatan tinggi pada abah. Wajah sedihnya berubah penuh kekesalan, apalagi saat orang yang diajak bicara hanya tertawa terbahak-bahak sambil merengkuh putrinya yang baru datang.
"Abah, kumaha damang?" tanya Ryan sambil mencium punggung tangan Abah.
"Alhamdulillah--,"
"Ini si Abah teh teu sakit, Aa'. Tong ditanya kitu!" bentak Hania. Ryan nyaris tertawa. Ternyata ada yang tidak berubah dari Hania, cara merajuk yang lucu menurutnya.
"Iih, Hania. Beneraaan, si abah teh karunya teuing, tadi pagi melintir-melintir kitu. Ambu kira sakit usus buntu. Makanya Papanya Ryan langsung bawa ke IGD. Eh, alhamdulillah gak kenapa-kenapa. Perutnya kaget wae kebanyakan makan sambel, hihihi," ucap Ambu polos, tanpa melihat ekspresi putrinya yang masih kesal.
Hania ingin marah, tapi buru-buru dia istighfar.
"Lain kali, jangan begini lagi yaa. Itu liat Rani kasihan sampe ikut kemari nemenin Hania," ucapnya pelan sambil mengusap air mata yang sudah terlanjur jatuh tadi.
"Eh ... gak papa, kan jarang-jarang aku ke Bandung, Han. Gratis lagi! Anggap aja liburan, hihihi!" Rani malah tertawa geli melihat semua kebenaran ini.
"Nah, karena semua sudah di sini, yaa sekalian liburan aja. Sudah libur kuliah juga kan kampusnya?" tanya Abah.
"Iya sih, tapi di Jakarta kan kami udah punya agenda, Bah. Ini aja kami ninggalin acara penting. Rani juga mau sidang skripsi seminggu lagi," sungut Hania.
"Gak papa, Han. Semua kan dah beres kemaren. Kamu juga yang bantuin," ucap Rani menenangkan Hania.
"Eh, pada minum dulu. Itu Ambu udah siapin teh hangat. Tuh Han, kue kacang kesukaan kamu," ucap Ambu sambil menyodorkan teh untuk Ryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kue Kacang dan Secangkir Teh
RomanceUntuk meraih kembali cinta yang hilang dan terlupa, seorang gadis berjuang dan bertahan dengan bantuan kue kacang dan secangkir teh. Akankah dia temukan cintanya kembali?