Bagi sebagian pelajar, sekolah bisa seperti surga yang membuat hari-hari lebih berwarna. Kumpul bersama teman, uang jajan banyak, dan kantin, itulah yang mereka anggap sebagai nikmat dunia. Sedangkan pelajar yang menganggap sekolah seperti penjara akan merasa dirinya berada dalam kesengsaraan. Bagi pelajar seperti itu hanya jam kosonglah yang mereka harapkan.
Seperti yang saat ini dirasakan Alfila Desti siswa kelas XII ipa-2. Kata orang-orang anak ipa itu keren, anak ipa itu pintar-pintar, anak ipa adalah idola. Tetapi semua itu hanya kata orang bukan kata Lala. Bahkan ia merasa salah jurusan.
Saat ini siswa kelas XII ipa-2 berada di lapangan karena jam pelajaran olahraga. Pelajaran yang sangat tidak disukai Lala.
"Gue males banget, Mer" kata Lala kepada sahabatnya, Meri.
Meri langsung menoyor kepala Lala. Meri berpikir mungkin dengan menoyor kepala sahabatnya akan membuatnya menjadi lebih waras.
Semua siswa kelas XII ipa-2 sudah berada di lapangan. Bagas, selaku ketua kelas mengatur teman-temannya untuk melakukan pemanasan.
Setelah pemanasan selesai dilakukan, Pak Beni datang. Pak Beni adalah guru olahraga mereka.
"Selamat pagi semua" sapa Pak Beni kepada siswa kelas XII ipa-2.
"Pagi, Pak." Semua serentak menjawab sapaan Pak Beni.
"Ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan kepada kalian semua" kata Pak Beni sambil menatap siswanya satu per satu.
"Penting enggak, Pak?kalo enggak penting mending langsung olahraga aja" celetuk Lala asal.
Pak Beni dan teman-teman Lala tak percaya mendengar penuturan Lala. Meri hanya menggelengkan kepala tidak percaya melihat kelakuan sahabatnya.
"Lala, saat ini saya tidak ingin berdebat dengan kamu. Saya serius." Pak Beni mengusap wajahnya.
"Saya jug-"
"Lala." Pak Beni memotong perkataan Lala. Ia tahu betul muridnya itu tidak akan mengalah untuk masalah berdebat.
Lala menghela napas, kali ini ia harus mengalah. Ini masih terlalu pagi, jadi ia tidak ingin merusak suasana hatinya hanya karena berdebat dengan guru olahraganya itu.
"Hari ini terakhir saya berada di sekolah ini." Pak Beni bersuara. Lala dan teman-temannya melongo. "Saya dipindah tugaskan ke Bogor. Saya minta maaf jika selama saya mengajar ada perkataan atau tindakan saya yang membuat kalian sakit hati." Pak Beni menarik napas. "Sebentar lagi guru baru kalian akan datang. Dia yang akan menggantikan saya."
Suasana menjadi tegang. Diantara mereka ada yang berkaca-kaca menahan air mata. Ada juga yang memasang wajah tanpa ekspresi, salah satunya adalah Lala.
Tidak lama kemudian datang seorang lelaki menghampiri Pak Beni. Semua mata tertuju padanya. Ia memakai sepatu olahraga berwarna hitam dan bermerek. Tubuhnya tinggi, lengannya berotot, bibirnya tebal dibagian bawah dan berwarna merah muda, hidungnya mancung, sorot matanya tajam, rambutnya hitam pekat.
Perfect.
Semua melongo terlebih lagi siswa perempuan. Bagaimana tidak?sepagi ini mereka sudah dihadapkan dengan makhluk spesies langka di SMA Darmawangsa.
"Ini, Pak Alvino. Dia yang akan menggantikan saya" suara Pak Beni membangunkan mereka dari lamunan.
Lala dan teman-temannya hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Alvino Anggara.
Alvino Anggara, guru olahraga baru di SMA Darmawangsa. Usianya 23 tahun, ia baru saja lulus dari salah satu universitas di Jakarta. Dan beruntungnya ia langsung mendapat pekerjaan setelah wisuda.
Setelah memperkenalkan Alvino kepada siswa kelas XII ipa-2, Pak Beni langsung berpamitan dan langsung pergi dari lapangan. Sekarang tugasnya sebagai guru olahraga di SMA Darmawangsa di emban oleh Alvino Anggara, sang guru muda.
"Baik, jadi saya tidak perlu berkenalan lagi" ucap Alvino dengan suara baritonya.
Siswa kelas XII ipa-2 hanya mengangguk kecuali Lala. Mereka saling berbisik membicarakan ketampanan guru barunya itu. Benar kata orang, dibalik kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Mereka sedih karena harus berpisah dengan Pak Beni, tetapi mereka juga bahagia karena dengan pindahnya Pak Beni mereka mendapat guru baru yang tampan bak pangeran.
"Lho, Bapak kan belum memperkenalkan diri," imbuh Lala.
Alvino menatap Lala dengan mata elangnya. Sedangkan yang ditatap hanya bisa menelan ludah.
Tatapannya ngeri amat. Batin Lala
Alvino memasukkan kedua tangannya kesaku celana. Dengan santai ia menjawab,"Bukankah Pak Beni sudah memberitahu nama saya?"
"Ta-" Kalimat Lala dipotong oleh Alvino.
"Time is money. You know!" kata Alvino dengan penuh penekanan.
Semua hanya menatap ngeri. Sedangkan Meri menatap sahabatnya dengan rasa iba.
"Sabelum kita masuk kemateri, ada beberapa peraturan yang harus kalian patuhi selama saya mengajar" ujar guru baru itu dengan wajah datarnya.
Teman-teman Lala saling melempar pandangan. Peraturan apalagi? pikir mereka. Guru baru seenaknya saja mau memberi peraturan.
Tapi mau bagaimana lagi?semua orang berhak membuat peraturan. Apalagi Alvino seorang guru jadi wajar saja ia membuat sebuah peraturan. Tujuannya pastilah agar siswanya disiplin.
Alvino menatap siswa dihadapannya satu per satu. Lalu ia tersenyum. Tetapi bukan sebuah senyuman tulus.
Hem, dia ternyata. Batinnya.
❄❄❄
See you next part gaes
Semoga suka sama cerita ini.
Jangan lupa vote & commentnya:-)Salam cinta,
Yuna.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARTIKA
Teen FictionDia itu seperti antartika, dingin. Hanya orang tertentu yang bisa menyentuhnya. Guru, tapi kok cuek? Bagaimana nasib siswanya? *cerita ini hanya fiksi atau hasil imajinasi penulis. 🔴Pertama ditulis pada 23 Februari 2020