Nasib menjadi siswa yang terlambat masuk sekolah selain mendapat hukuman dari guru adalah menjadi pusat olok-olok teman sekelas.
Sudah lelah menerima hukuman dari Bu Jesi sekarang Lala harus menerima ejekan dari teman-temannya. Untung saja Lala mempunyai bakat terpendam yaitu mampu menulikan pendengarannya saat ia sedang tidak ingin mendengarkan orang lain.
"Ya elah, La jam segini baru masuk. Dikira ini sekolah punya buyut, lo" celetuk Andre salah satu teman sekelas Lala.
"Ya elah, Ndre kaya lo enggak pernah telat aja" balas Lala.
Andre nyengir. Benar juga, dirinya kan paling sering terlambat. Hari ini ia sedang beruntung saja jadi ia tidak terlambat.
Satu jam pelajaran telah berlalu dan Lala tidak mengikuti pelajaran itu. Ini bukan kali pertama Lala terlambat ke sekolah dan ia juga sudah biasa mendapat hukuman.
Lala berjalan menuju kursinya dan mendudukkan dirinya disana. Satu jam membersihkan labor kimia ternyata cukup menguras energinya. Rasanya ia tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini. Tapi, Meri mengacaukan niatnya.
"Makanya tidur jangan kaya kebo" sindir Meri. Lala hanya menatapnya sekilas.
"Sebenernya gue lagi males ngomong" ucap Lala.
Meri melongo. Kesambet apa sahabatnya ini. "Haa? lo mau kaya, Wati?"
Wati Akmadita adalah teman sekelas Lala dan Meri. Ia sangat jarang berinteraksi dengan siapapun. Dia sangat pendiam. Bahkan saat jam istirahat pun ia tidak pergi ke kantin dan malah menghabiskan waktu istirahatnya di kelas.
"Ngawur! ya enggak lah. Eh tapi kalo gue jadi kaya Wati gimana ya, Mer?" Jadi diri sendiri saja sudah repot, kenapa mau jadi orang lain?
"Lo yang ngawur! lo, ya lo. Wati, ya Wati. Lo enggak bisa jadi dia dan dia enggak bisa jadi lo." Benar. Dia ya dia, kita ya kita. Dia tidak bisa menjadi kita dan kita tidak bisa menjadi dia. Semuanya sudah memiliki takaran yang pas. Meri memasukkan buku pelajaran sejarah kedalam tasnya dan mengeluarkan buku bahasa indonesia dari tasnya. "O iya, tadi Bagas nanyain, lo."
"Ngapain dia nanyain gue?"
Bagas Pradipta selain menjabat sebagai ketua kelas XII ipa-2 ia juga menjabat sebagai salah satu orang yang menyukai Lala. Ia sudah menyukai Lala sejak kelas XI. Tapi sayang, Bagas tidak cukup berani untuk mengungkapkan perasaannya kepada Lala. Sedangkan Lala tidak pernah percaya kalau Bagas menyukainya, meskipun Bagas sering memberinya kode tetap saja Lala tidak peka.
"Payah banget sih lo, La. Dia kan suka sama, lo."
Seperti biasa, saat ada orang yang mengatakan hal seperti itu Lala hanya akan tertawa, entah apa yang lucu.
"Haha ... sok tau, lo."
Niatnya Meri ingin membalas ucapan Lala, tapi Bu Ines telah masuk ke kelas.
"Selamat pagi" ucap Bu Ines sebagai kalimat pembuka.
Bu Ines adalah guru bahasa indonesia kelas XII. Imut, berkulit putih dan cukup errr gendut. Pelajaran bahasa indonesia cukup disukai oleh siswa kelas XII ipa-2, hanya guru yang mengajarnya saja yang terkadang membuat mereka malas di jam pelajaran ini karena saat mengajar suara Bu Ines ini sangat pelan saat menjelaskan, nyaris tak terdengar. Akhirnya mereka harus benar-benar mengoptimalkan fungsi indra pendengaran mereka masing-masing.
Sudah tahu suara Bu Ines mahal, Bagas malah mengajak Lala berbicara saat Bu Ines sedang menjelaskan di depan sana.
"La, lo balik sama gue ya." Bagas memelankan suaranya agar tak terdengar oleh Bu Ines.
Lala sedikit menolehkan kepalanya kekanan. "Gue balik naik angkot." Lala mengucapkannya dengan pelan dan hati-hati.
Bagas menghela napasnya, entah sudah berapa kali ia menawarkan diri untuk mengantar Lala pulang, dan entah sudah berapa kali pula Lala menolaknya tapi tetap saja Bagas tidak pernah jera. Mungkinkah ini salah satu bentuk perjuangannya?
"Oh, yaudah." Bagas kembali fokus ke Bu Ines yang sedang menjelaskan materi.
❄❄❄
Bel tanda selesainya jam pelajaran sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Sekarang waktunya siswa siswi Darmawangsa mengisi perutnya yang keroncongan. Kantin adalah tempat utama yang akan mereka tuju saat ini.
Sebagian siswa kelas XII ipa-2 sudah berhamburan keluar kelas, ada juga yang masih membereskan bukunya.
Setelah selesai memasukkan bukunya kedalam tas, Lala beranjak dari duduknya hendak kekantin bersama Meri. Ia melihat kearah Wati yang masih duduk dikursi dan membaca buku.
"Wati, kekantin bareng yuk" ajak Lala yang berdiri tepat disamping Wati.
Wati menoleh kearah Lala dan Meri. Ia menggeleng. "Duluan aja"
Lala dan Meri mengangguk kemudian meninggalkan Wati. Mereka berjalan santai lewat koridor dan melewati beberapa kelas. Sesekali mereka tertawa karena candaan yang mereka buat.
"Eh, La. Lo tadi nolak ajakan Bagas?" tanya Meri di sela-sela tawanya.
Menurut Meri, kepo dengan urusan sahabat itu tidak apa-apa. Yang penting tidak kepo terlalu dalam dan tidak ikut campur dalam urusan tersebut.
"Iya"
Meri mengeleng, tak habis pikir dengan sahabatnya itu. Meri berpikir hal apa yang kurang dari sosok Bagas sampai-sampai sahabatnya itu tidak tertarik kepadanya. Ketampanan diatas rata-rata, tinggi badan kurang lebih 175 cm, tajir golongan menengah, anggota tim basket sekolah, jadi apanya yang kurang?
"Ya ampun, La. Lo sadar enggak sih?" Menyadarkan orang yang tidak peka itu tidak mudah.
"Ya sadarlah. Ini mata gue melek kan?" Lala membuka matanya lebar-lebar, mencoba memberitahu meri bahwa ia sadar, sangat sadar.
Gemas mendengar dan melihat tingkah Lala, Meri menjewer telinga Lala dan lari meninggalkannya.
"Aw aw, sakit, Mer" ringis Lala kesakitan. Tangannya mengusap telinga bekas jeweran Meri dan ia memasang jurus kaki seribu untuk mengejar sahabatnya itu. "AWAS LO YA, MER!"
❄❄❄
Gimana sama part ini guys?
Jangan lupa vote & comment ya:)
Jangan lupa share cerita ini ke temen-temen kalian ya.
Wattpad @ai_yuna
Instagram @ai_yunaa
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARTIKA
Fiksi RemajaDia itu seperti antartika, dingin. Hanya orang tertentu yang bisa menyentuhnya. Guru, tapi kok cuek? Bagaimana nasib siswanya? *cerita ini hanya fiksi atau hasil imajinasi penulis. 🔴Pertama ditulis pada 23 Februari 2020