Part 3||Siraman Rohani

57 17 2
                                    

Kantin. Tempat yang akan menjadi pelampiasan siswa setelah berkutik dengan pelajaran di kelas. Tempat dimana cacing perut akan meronta saat mencium aroma mie ayam buatan Bik Suti.

Setelah selesai makan, Lala dan Meri tidak langsung kembali ke kelas. Kebiasaan mereka adalah tidak akan kembali sebelum bel berbunyi. Kebiasaan buruk yang tidak patut dicontoh adalah bergosip. Itulah yang biasa mereka lakukan.

Rasanya Lala ingin pergi meninggalkan Meri. Telinganya panas mendengar ocehan yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Lala heran, mengapa Meri terus berbicara?

"Lo itu aneh tau enggak sih, La." Itu bukanlah sebuah pertanyaan melainkan sebuah pernyataan.

Lala mengerutkan dahinya. Aneh? apanya yang aneh? Lala cantik, mancung, bibirnya tipis, postur tubuhnya juga bagus.

"Aneh?" tanya Lala penasaran.

Meri menyeruput minuman dihadapannya. Butuh kesabaran dan tenaga ekstra untuk menyadarkan sahabatnya. Terkadang otak Lala ini tidak berfungsi dengan baik, jadi ia harus menjelaskannya perlahan.

"Gini, La. Lo itu kan pinter, cantik oke lah ya, tinggi iya. Tapi ada tapinya ni." Meri berbicara sambil menghitung menggunakan jarinya.

Lala semakin mengerutkan dahinya. Sebelumnya Lala ucapkan terimakasih atas pujian yang diberikan Meri untuknya. Tapi kenapa masih ada tapinya?

"Tapi kenapa?" tanya Lala polos.

Meri menghela napas. Sabar ini ujian. Ujian agar tidak menoyor Lala.

"Tapinya itu, kadang otak lo konslet. Lo tau kan kalo Pak Alvino itu cakep pake banget?" Lala hanya mengangguk. "Terus apa yang lo lakuin tadi?" Meri memasang wajah sedih ala pemain sinetron.

Benar, Alvino itu tampan. Lalu kenapa? tidak ada urusannya dengan Lala, kan?

"Ya terus?" Lala mengangkat tangannya dengan posisi telapak tangan berada diatas.

"Gue mau kasih lo wejangan. Jangan dipotong sebelum gue suruh lo ngomong titik" tegas Meri. Ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan."Harusnya lo itu kasih kesan yang baik ke Pak Alvino. First impression yang baik, biar lo dicap sebagai murid baik. Lo enggak tau tadi temen-temen yang lain pada banyak yang caper sama dia? nah, sedangkan lo malah nyerocos terus. Gue yakin pasti Pak Al kesel banget sama lo. Untung dia enggak nampol mulut lo tadi. Silahkan ngomong." Tarik napas, hembuskan, tarik napas hembuskan.

Sepertinya Meri ini sudah cocok menjadi emak-emak. Gaya bicaranya saja sudah seperti ibu-ibu yang memarahi anaknya karena bandel.

"What you say babe?" tanya Lala santai.

What you say, katanya? apa wejangan Meri tadi masih belum membuat Lala paham? beruntung Lala bersahabat dengan Meri yang bisa dibilang cukup sabar.

"Uhh, Lala sayang. Masa enggak paham sih? gini kita kan udah kelas dua belas sebentar lagi mau lulus, jadi kasih kesan yang baik ke guru. Apalagi ke Pak Alvino, dia kan guru baru belum tau seberapa gesernya otak lo. So, cukup guru lama aja yang tau kegeseran otak lo, Pak Alvino jangan." Panjang kali lebar sama dengan luas. Hitung saja sampai detik ini sudah berapa kata yang terucap dari mulut Meri hanya untuk memberi wejangan kepada Lala.

Lala tersenyum, "Iya."

Demi apa? setelah panjang dikali lebar ternyata hasilnya sama dengan 'iya'. Ternyata sesimpel itu jawaban untuk luas persegi panjang.

"Ingin kuteriak, ingin kumenangis, tapi, air mataku sudah tiada lagi. Walau lelah mulutku tak 'kan aku mengeluh biarlah hanya Tuhan yang tahu...,(*pasti bacanya sambil nyanyi 😅) gue seneng punya sahabat kaya lo, La. Sumpah deh. Gue beruntung ibu gue ngelahirin gue ditahun yang sama kaya, Lo." Meri mengelus kepala Lala seperti sedang mengelus kucing. Iya beruntung. Beruntung tidak sekonslet Lala.

Lala tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. "You are my shine shine, my only shine shine, you make make me happy setiap hari. Haha ...." Lala selalu saja seperti itu sangat senang membuat sahabatnya merasa sebal padanya.

Meri bergeleng, sahabatnya ini benar-benar. Mau sampai mulutnya berbusa karena terus berbicara, sepertinya Lala tidak akan paham. Lala ini tidak peka.

"Please deh, La. Cepet taubat, sekarang udah semester lima. Lo mau nilai lo turun di semester ini dan akhirnya lo enggak lolos ke PTN cuma gara-gara mulut lo yang enggak ada remnya dan otak lo yang sedikit geser?"

Satu ditambah satu sama dengan dua. Dua jempol untuk Meri. Dua jempol untuk semua wejangannya, dan dua jempol untuk kesabarannya.

Dua dikurang satu sama dengan satu. Satu tampolan sepertinya cukup untuk membenarkan kegeseran otak Lala.

"Apa salahku? apa salah ibuku? hidupku dirundung pilu ... gue tau lo sayang sama gue, Mer, tapi gue bingung. Lo nyuruh gue taubat lah gue aja enggak tau dosa apa yang baru gue lakuin."

Demi penguasa langit dan bumi, demi makhluk yang hidup di mars, dan demi persahabatan antara mereka, tidak ada hal lain yang bisa Meri lakukan selain ber-sa-bar. Terkadang Meri bingung, Lala ini hanya pura-pura tidak paham atau bagaimana? padahal untuk masalah pelajaran dia masuk kategori diatas menengah.

Kring kring kring.

Bel masuk telah berbunyi. Siswa yang berada dikantin berhamburan keluar dan pergi menuju kelasnya masing-masing. Begitu juga dengan Lala dan Meri.

Waktu istirahat lima belas menit, dan selama lima belas menit itu Lala mendapat pencerahan gratis dari Meri, sahabatnya. Sayang, harus terpotong dengan suara bel. Meri yakin lima belas menit masih kurang untuk membenarkan otak Lala.

❄❄❄


.

.

Gimana sama part ini?
Kalian punya enggak sih temen kaya Lala?

Share cerita ini ke temen-temen kalian ya.
Jangan lupa vote & comment :)

Wattpad @ai_yuna
Intagram @ai_yunaa


ANTARTIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang