Cipta menamparku di dekat gerbang belakang SMA Negeri 1.
Aku terbelalak ke arah kiri, terpaku, terpana tanpa mampu berbuat apa-apa saking terkejutnya akan tindakan Cipta. Dimana-mana, biasanya perempuan menampar lelaki, tetapi kali ini dengan entengnya tangan anak itu mendarat keras di pipiku. Mataku panas.
"Kamu tolol?!" bentaknya menahan pekik. "Seberapa jauh kamu kenal Bagas? Kenapa mau aja nginep di rumah dia?! Kenapa enggak belajar dari yang udah-udah?! Kalau baju kamu dipereteli semua gimana?!"
Aku masih bergeming dengan gumulan air mata yang siap tumpah.
"Atau kamu memang mau?!"
Aku memandangnya penuh amarah. Kudorong dada Cipta keras-keras, lalu melotot murka tepat di kedua pupil gelapnya. Atas dasar apa ia berani menamparku sedemikian keras, bahkan menuduhku bersedia dipakai. "Kenapa kamu sesemena-mena ini?!" Suaraku serak tak terkendali.
Cipta masih tak bergerak, memandangku seolah memang menungguku bereaksi.
"Bahkan Papa dan Mama aja enggak pernah nampar aku ketika mereka marah! Kamu pikir dengan kamu tampar, semuanya selesai?! Aku bakal ngerti?! Lagipula kamu tahu apa sih tentang hubunganku dan Bagas?"
Cipta diam. Tak tampak kalah, tetapi mimik wajahnya tetap sulit dijelaskan. Apakah ia tengah menyesali kesalahannya atau cuma menimbang-nimbang jawaban untuk menampik pernyataanku. Akhirnya kubiarkan air mataku menetes, untuk kemudian mengusap pipi dan berbalik meninggalkannya sendirian di gerbang belakang sekolah yang telah lama berkarat dan dikunci tanpa pernah dibuka lagi. Setidaknya aku puas telah membuatnya bungkam.
***
Pertengkaran itu memakan waktu cukup lama bagiku dan Cipta untuk bisa kembali baik-baik saja. Sekitar tiga hari kami berpapasan tanpa saling sapa, masih merasa diri sama-sama benar. Terkadang suatu kali sepulang sekolah, aku sengaja melewatinya ketika berada di jok belakang Vespa milik Bagas. Kubuat wajah sebahagia mungkin untuk menunjukkan bahwa sampai tiga bulan berjalan, hubunganku dan Bagas baik-baik saja dan segala pikiran buruk Cipta tentang Bagas adalah salah, sehingga dia akan menyesal sejadi-jadinya.
Tetapi ternyata takdir berkata lain. Aku kembali melihat Cipta dengan tampang biasa-biasa saja di perpustakaan berjalannya yang kini telah berkembang menjadi kios tetap dengan interior kayu dan jendela kaca membelendung ke luar. Kecil, tetapi sangat nyaman. Kami menyebutnya kios perpustakaan, sebab tempat itu adalah perpustakaan yang menyediakan jasa pinjam buku melalui berniaga. Ditambah, di sana terdapat ruang bawah tanah di mana hanya aku yang diperbolehkan Cipta untuk masuk.
"Kalau di rumah sedang sumpek, aku biasa menginap di sini," ujarnya waktu itu seraya tidur telentang dengan satu tangan di bawah kepala dan tangan lain membaca buku kecil berisi rumus Fisika kelas sembilan semester satu. Besok ujian harian pertamanya.
Waktu itu, aku tengah mengenakan overall jin, bukannya seragam sebagaimana Cipta (sebab memang aku tidak masuk sekolah, karena diundang hadir di pentas seni sekolah lain. Omong-omong, aku mulai meniti karir sebagai penyanyi pop solo sejak kelas empat SD dulu). Aku berguling mendekat ke tubuh Cipta. "Aku boleh menginap?"
"Enggak." Cipta bahkan tak mengalihkan matanya dari buku saku yang ia baca. "Kecuali tanpa aku," lanjutnya.
Aku hanya mencibir, untuk kemudian mengganti musik di stereo usang yang Cipta beli di pasar loak dengan harga amat terjangkau, dan ajaibnya masih berfungsi, hanya saja mesti menggunakan kaset. Beruntung Papa penyuka musik, dan ia punya banyak koleksi kaset-kaset semacam itu, jadi aku sering membawanya ke kios buku Cipta dan memutarnya. Sementara anak itu hanya punya satu, album Iwan Fals.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Jangan Saling Jatuh Cinta
Romance(Telah tersedia di Gramedia) Nantikan dalam bentuk series di Vidio.com! Pemenang Wattys 2020 "New Adult" - Ada waktu di mana hati harus menepi hanya oleh sebuah janji. Lihatlah pada kebodohan yang kami perbuat: mengatasnamakan cinta pada sebuah rasa...