Perjalanan di bis memakan waktu hampir sembilan jam untuk tiba di kota tempat gedung perpisahan sekolah kami. Pantas saja biayanya mahal tak kira-kira. Lokasinya sejauh ini. Bis perempuan dan laki-laki dipisah. Betapa bahagianya begitu aku turun, perempuan pertama yang kulihat turun dari bis adalah Anya. Kami saling melempar senyum. Tetapi ... mengapa Anya kelihatan sedih?
Pada hari ketika kami tiba, hal yang pertama dijadwalkan adalah rehat di tempat penginapan, untuk melakukan wisata pertama esok hari. Aku tak membawa kamera maupun ponsel bagus sebagaimana siswa lain, aku hanya membawa ponsel dengan kamera malfungsi dan layar depan retak, untuk mengabarkan orang-orang rumah.
Ketika rombongan kami menyusuri sisi jalan untuk melihat-lihat pemandangan tempat wisata tersebut, aku melihat Anya tengah memandangi sejulang patung monumen yang terbuat dari batu tua, ia lalu memotretnya dengan kamera. Baru aku akan menghampirinya, tiba-tiba saja Bagas muncul dan langsung menggamit tangan Anya. Senyumku pudar. Anya menoleh ke arahnya, tersenyum sebagaimana mereka kembali menjadi sepasang kekasih.
Tadinya aku hendak menyusul mereka, tetapi hal itu agaknya konyol. Akhirnya aku melupakan dua manusia itu sejenak dan bergabung dengan Hasan dan anak laki-laki kelasku untuk berbahagia sesaat. Perjalanan wisata dijadwalkan pada dua hari pertama, yang tak satu menit pun kuhabiskan dengan Anya, tetapi tak jadi masalah. Aku masih bisa bersua dengan geng Hasan. Hingga akhirnya tiba waktu yang dinanti-nantikan, malam puncak di hari terakhir perpisahan.
Semua siswa menampilkan busana dan dandanan terbaik mereka untuk segera menghadiri acara formal di aula besar hotel tempat kami menginap. Aku hanya mengenakan kemeja hitam terbaik yang kupunya, dengan celana bahan sewarna cokelat susu yang kusetrika amat rapi. Aku menyisir rambut dan mengenakan wewangian sewajarnya. Lantas, berjalan di antara mereka yang mengenakan kemeja berdasi, rompi, bahkan jas, melewati para siswi yang mengenakan gaun-gaun meriah mereka. Ada yang mengenakan kebaya modern, gaun selutut, abaya bermanik, sampai gaun panjang warna merah muda kusam yang anehnya terlihat sangat elegan, kulit putih pemakainya membuat warna dusty pink itu nampak serasi. Wajahnya tampak bercahaya di bawah lampu gantung raksasa. Itu dia, Kanya Putri Purbasari yang tanpa sengaja memandangku, lalu ia melambai dan tersenyum. Hai, Cipta! sapanya tanpa suara. Aku hanya tersenyum mengiringi kepergiannya ke kursi satin para siswi.
Aku mengelus dada. Memanjatkan doa agar dikuatkan hatinya.
Upacara pembukaan dan sambutan-sambutan singkat para petinggi sekolah selesai dalam waktu satu jam, tak sebertele-tele wisuda, tetapi cukup untuk membuat kami para siswa-siswi jenuh, hingga akhirnya, selepas menyanyikan mars sekolah, Bu Hadi—guru Matematika kami—yang berperan sebagai pembawa acara meneriaki, "Selamat menikmati malam puncak, dan selamat berpesta!" ujarnya.
Kemudian musik pop dinyalakan. Semua siswa bersorak dan mengambur ke tengah-tengah ruangan, meninggalkan kursi-kursi di belakang. Aku baru berdiri, tetapi tubuhku sudah terbawa oleh arus teman-teman yang sudah kebelet berpesta. Aku tersenggol, terimpit, sampai akhirnya terpental dan menabrak anak lain.
"Aduh!" seru kami bersamaan, lekas kami menoleh dan mendapati diri bertemu satu sama lain. "Eh, Anya."
"Cipta!" Ia tertawa, dan langsung menarikku ke tempat yang lebih lengang.
"Nya!" teriakku melawan dentum pengeras suara. "Kok kamu enggak pasangan sama Bagas?!"
"Karena kamu duluan yang mengundang aku!" pekiknya membalasku.
Lalu kami berhenti dan menemukan lantai yang cukup luas. Tiba-tiba lagu pertama habis, dan DJ pengatur lagu mengumumkan, "Karena tema kita hari ini adalah nostalgia, maka nikmatilah lagu-lagu nostalgia malam ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Jangan Saling Jatuh Cinta
Romance(Telah tersedia di Gramedia) Nantikan dalam bentuk series di Vidio.com! Pemenang Wattys 2020 "New Adult" - Ada waktu di mana hati harus menepi hanya oleh sebuah janji. Lihatlah pada kebodohan yang kami perbuat: mengatasnamakan cinta pada sebuah rasa...