[ 9 ] Jangan Terkelabu, Cinta Itu Penipu

45.1K 7.4K 595
                                    

Ternyata Anya benar, bahwa kehadiran cinta dapat menghancurkan hubungan baik sepasang manusia. Aku tak mengira, dengan hadirnya kekuatan itu, masa SMA dan gejolak pertemananku, bahkan jalan hidupku ke depan mengalir begitu ekstrem. Menanjak dan menurun tak kira-kira. Aku dibanting-banting oleh harapan dan kenyataan.

Kambing!

Menjelang Ujian Nasional, hubungan pertemananku dan Anya kian merenggang. Menjauh. Selain oleh karena persiapan pada jurusan masing-masing—aku IPA, dan Anya IPS—ancaman Bagas memberi dampak cukup telak bagi kami berdua. Aku sendiri memilih untuk menjauh bukan karena takut olehnya, melainkan demi kebaikan Anya dan Bagas sendiri.

Kios perpustakaan sudah lebih jarang aku kunjungi, sebab aku sudah menurunkan tanggung jawab itu pada Ratna dan adik-adikku yang lain, sementara aku harus menggantikan Bapak bekerja. Terkadang jadi kuli, terkadang sekadar pemasok semen. Tak hanya itu, pagi-pagi buta aku mesti membantu ibu berjualan sayur di pasar. Tetapi, tugas ini lebih banyak diemban oleh si kembar Ganta dan Tata yang kini telah berusia 9 tahun dan sudah paham uang.

Aku sudah tak pernah lagi mengunjungi rumah Anya, pun Anya yang tak pernah lagi memberiku kunjungan tiba-tibanya ke rumahku.

Aku ... merindukan masa-masa itu.

Hiburan semacam mencuri koneksi internet di dekat laboraturium komputer menjadi kesenanganku dan para siswa laki-laki kelas 12 IPA-2. Atau sekadar bermain kuda templok yang berbahaya, aku bisa tertawa sepuas-puasnya kala itu, melupakan Anya nyaris sepenuhnya. Lalu yang perempuan akan menjerit-jerit takut terjadi cedera. Tetapi, ketika guru Bimbingan Konseling tiba, susunan kuda templok itu akan ambruk seketika dan semua siswa akan kembali ke kursinya masing-masing.

Foto-foto aib teman sekelas, video konyol pelawak-pelawak kelas, atau sekadar diam-diam mengikuti gerakan para siswi yang tengah berswafoto dengan mulut monyong. Lalu kami para lelaki akan terbahak-bahak tanpa mereka ketahui. Aku bersyukur semua hiburan itu hadir. Setidaknya aku tahu bahwa dunia juga menyediakan kebahagiaan di samping kedukaan.

Waktu berlalu dengan cepat, dan tiba juga kesibukan buku tahunan, angket ter- satu angkatan—dan sangat mengejutkan, sebab aku memenangkan nominasi 'terkelam' berkat wajahku yang cenderung cemberut ketimbang tersenyum, sialan—dan undangan perpisahan untuk setiap siswa, di dalamnya terdapat kolom kosong untuk mengundang lawan jenis siapa saja sebagai pasangan di malam puncak.

Aku memandang para siswi di kelas yang sedang sibuk bergunjing, tertawa ngakak, duduk bercangkung, atau berswafoto sampai bibir jontor dan mata juling.

"Undang kambing aja apa ya," gumamku tanpa terdengar siapa pun.

Tiba-tiba saja di tengah kekacauan kelas itu, seseorang membuka pintu oleh suara ketukan yang tak terdengar. "Cipta! Dicariin Anya!" teriakan perempuan yang membuka pintu itu membekukan seisi kelas sesaat, lalu kembali ribut. Aku mengantongi undangan perpisahan dan berjalan menuju pintu. Benar, Anya berdiri di sana, dengan gaya rambut baru, sebagian kanan-kiri rambutnya diikat ke belakang kepala.

"Hai, Ta," sapanya. "Sibuk enggak?"

"Enggak, kenapa?"

"Bisa ke kantin sebentar? Bagas mau ngobrol."

Aku diam sejenak. "Boleh."

Lalu seperti waktu-waktu dulu, aku dan Anya berjalan berdampingan seraya mengobrol hal-hal tak penting dengan sedikit kelakar yang membuat kami tertawa, sampai akhirnya kami tiba di kantin yang tak begitu ramai, dan Bagas duduk di sana dengan tiga gelas jus mangga.

"Eh, Ta," sapanya.

Aku mengedikkan dagu membalas sapaannya. "Ketua OSIS mesti gini ya ngobrolnya? Formal gitu."

Anya dan Bagas tertawa akibat candaanku. "Mantan Ketua OSIS. Satu bulan lalu lengser," timpal Anya. Dan ya, Bagas memang kembali menjabat sebagai Ketua OSIS di SMA hingga kelengserannya di kelas dua belas.

"Maaf nyuruh Anya buat manggil. Biar suasana lebih nyaman aja," ujar Bagas membuka perbincangan.

"Santai," balasku.

Lalu Bagas memberi permulaan dengan perkataan maaf, berlanjut pada penjelasannya yang beberapa waktu lalu membuat Anya dan aku menjadi tak nyaman. Aku mengangguk dan berkata padanya bahwa aku paham. Lalu ia menawarkan pertemanan denganku, ia tak ingin kesalahpahaman yang lalu terulang kembali. Sebab, ia amat menyayangi Anya, akunya. Ditambah, berhubung tak lama lagi akan lulus, ia ingin kami bertiga menyudahi masa SMA dengan cara baik-baik. Aku mengangguk, lalu menerima tawaran pertemanannya. Tiba-tiba, sebuah pengakuan terlontar:

"Aku dan Anya sudah kembali berteman."

Aku berhenti mengetuk-ngetuk kaki ke tanah. Memandang Bagas bingung. "Maksudnya?"

"Kami putus," kata Anya. "Dengan cara baik-baik."

Aku memandang keduanya bergantian. "K-kok?"

"Yah ...." Bagas melepas kacamatanya, entah dengan maksud pamer ketampanan atau bukan, tetapi ia jadi lebih cakep ketimbang ketika mengenakannya. "Sepertinya ada cara yang lebih baik untuk melanjutkan hubungan baik, ketimbang berpacaran."

Aku masih memandang keduanya tak paham. Mereka putus, tetapi berbahagia? Makudnya apa?

Selepas pengakuan itu, Bagas menggiring perbincangan ke arah lain, semakin luas dan jauh, tetapi semakin cair. Aku sudah bisa tertawa dan menikmati jus mangga traktirannya tanpa kecanggungan berlebih. Kami berbincang, dan aku terus memandangi Anya tanpa kusadari. Ia tampak lebih bahagia, yang entah bagaimana bisa menular ke dalam dadaku yang kini hangat.

Aku masih punya harapan.

***

Mari Jangan Saling Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang