[ 6 ] Halah, Kambing

54.1K 7.7K 744
                                    

Nyatanya, dua tahun setelah itu, aku jatuh cinta pada Anya. Padahal awalnya, kupikir tamparanku waktu itu akan mengakhiri hubungan baikku sepenuhnya bahkan tanpa kehadiran gangguan yang kami sebut 'cinta'.

Berawal ketika untuk pertama kalinya, aku berhasil membeli motor dengan uang hasil kios perpustakaan. Motor bekas memang, tetapi masih sangat layak pakai. Supra abu-abu dengan jok dan speedometer baru. Aku berseri-seri hari itu, tanpa berniat memberitahunya, aku menelepon melalui ponsel dan mengatakan padanya bahwa aku sudah berada di depan rumah pagi itu, siap mengantarnya sekolah. Lima tahun berteman dengan periang satu ini, belum pernah aku menjemputnya dari rumah ke sekolah. Jauh lebih sering mengantarnya dari sekolah ke rumah.

"... Enggak usah, Pa. Anya berangkat sama Cipta. Dah!" Sisa suaranya terdengar kala ia mengenakan sebelah sepatunya sambil berdiri dan menutup pintu rumah. Masih dengan rambut hitam legamnya yang tergerai, Anya melambai ke arahku hanya untuk memekik keras, "EH?! MOTOR SIAPA ITU, CIPTA?!"

Tiba-tiba dengan ketergesa-gesaan yang tak dibuat, Wisnu Candra membuka pintu rumahnya seolah mendengar kecelakaan. "Ada apa, Anya?!"

Anya menoleh ke arah papanya. "Eh, enggak." Lalu menyengir.

Dengan kedongkolan tertahan, pria 40 tahun-an itu akhirnya kembali masuk rumah setelah menyapaku terlebih dulu.

Sambil mengikat rambutnya, Anya berjalan menghampiriku. Mendadak dunia melambat, lalu segalanya menjadi kabur kecuali Anya yang tengah berjalan dengan seragam putih-abunya yang masih kaku serupa milikku, rambutnya berayun kesana-kemari bersama senyuman amat manis di atas bibir yang hari ini menjadi bibir terindah di dunia. Lekuk tubuhnya yang indah tiba-tiba saja membuat jantungku terserang vertigo. Aku tak bernapas dalam waktu tiga detik. Dan semudah itu kekurangajaran cinta menyentuhku.

Aku jatuh cinta pada Anya secara tiba-tiba.

Tanpa kusadari ia telah berbicara di hadapanku, kali ini berbisik. "Motor siapa?!"

Aku berdeham mengusir gugup. Lalu dengan bangga mengeluarkan STNK yang masih atas nama Bapak dari dalam dompet belelku. Hari itu, untuk pertama kalinya aku sangat berbahagia dengan keberadaan Anya di jok belakang kendaraanku. Sungguh sulit dipahami, sesulit memahami mengapa gadis itu tak pernah malu bergaul denganku yang memiliki status sosial jomplang dengannya. Atau jangan-jangan, sebenarnya aku cukup ganteng untuk bersaing dengan laki-laki lain?

Kalau kata Bapak, aku ini ganteng, soalnya anak juraGAN genTENG.

Bapakku kuli bangunan dan paling mahir kalau sudah berurusan dengan genting, bahan atap rumah, kanopi, seng penyangga, besi kerangka, dan teman-temannya. Keterampilannya juga menurun padaku yang kata Ibu: cakap dalam berbagai bidang.

"Ta! Ih, kok kamu budek sih?"

"Apa?" tanyaku di atas motor.

Terdengar Anya yang tertawa kecil di belakangku. "Kamu kenal Raden Bagas Purnomo enggak?"

"Yang anak kelas sepuluh IPS-3?"

Anya tertawa lagi. "Iya. Kok kamu tahu?"

"Dari masa orientasi juga semua cewek ngomongin dia. Sama aja kayak kamu di mata para lelaki."

Anya mendadak tersipu-sipu—yang sebetulnya agak aneh, sebab biasanya ia tak begitu menyukai kenyataan bahwa dirinya primadona, sejak kejadian Tanto mesum. "Kemarin aku ngobrol sama dia di ruang guru." Lalu Anya bercerita tentang bagaimana ia dan Bagas mengobrol, merasa perbincangan menjadi seru seketika dan betapa Bagas memiliki kharisma yang mengagumkan, serta fakta bahwa laki-laki itu dulunya adalah Ketua OSIS di SMP favorit, hampir sama favoritnya dengan SMP Negeri 6.

"Hati-hati," tanggapku selepas ia bercerita.

Mulanya, aku hanya beranggapan bahwa Anya cuma terciprat euforia para perempuan yang mengagumi cowok tampan di sekolah, tetapi setelah mendengar kenyataan yang ia utarakan begitu turun dari Supraku, "Ta, kayaknya aku suka sama dia deh."

Yap. Sebagaimana datangnya, setiba-tiba itu pula rasa cintaku diporak-porandakan.

Kambing.

***

Mari Jangan Saling Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang