"Kanya Putri Purbasari?"
Aku mengangkat tangan ketika wali kelasku di kelas tujuh memanggil nama lengkapku. Aku tidak tahu bahwa sejak hari itu, aku seringkali dinobatkan untuk mengikuti lomba kecantikan, atau keluasan wawasan, atau sekadar lomba cerdas cermat antarkelas. Lalu berlanjut ke tawaran untuk menjadi Putri DKI Jakarta tingkat SMP, Duta Lingkungan Hidup, Duta Narkoba, Ketua Osis (yang sangat jelas kutolak), atau model busana remaja, kosmetik, dan produk perawatan kulit. Aku tidak begitu sadar sampai Cipta berucap di kantin seraya menelan bulat-bulat bakso kecil yang malang demi mengatakan, "Jangan bodoh, Nya. Semua cowok di sekolah ini mengincar kamu."
Ya, itu benar. Apalagi setelah mereka menontonku bernyanyi sambil memetik gitar di atas panggung classmeeting dan langsung tahu bahwa aku adalah Kanya yang itu, penyanyi solo putri Wisnu Candra dan May Ave.
Setelah tiga bulan aku ada di sekolah itu, aku mulai menemukan carik-carik kertas di kolong meja, titipan bekal, cokelat atau permen, sampai bunga mawar yang diselipkan ke dalam tas. Lalu mulai bertambah sampai ke beberapa begundal sekolah yang berani menembakku terang-terangan. Aku tersanjung tentu saja, tetapi biar bagaimanapun, aku agak takut. Itu semua menyeramkan kalau dikumpulkan dalam jumlah banyak. Apalagi isi surat-surat yang gombalannya ... ergh.
Ketika aku kelas delapan, ada salah seorang pemimpin begudal yang ternyata menyimpan dendam selepas penolakan yang kulakukan. Ia jadi lebih sering menggoda, bersiul-siul bersama teman-temannya yang juga tak ada beda, sampai terkadang mengirimkan pesan lewat ponsel yang menyinggung beberapa bagian tubuhku. Aku tak tahu apakah ia bercanda atau tidak, tetapi aku takut. Sangat takut sampai tak berani mengatakannya pada Cipta.
"Kamu kenapa?" tanya Cipta di atas sepeda, dengan aku di boncengan belakangnya. Mungkin ia heran mendapati aku lebih banyak diam, sementara biasanya aku tak berhenti bicara kalau bertemu Cipta.
Tanpa menjawab, aku bertanya, "Cipta, kamu mau enggak pura-pura jadi pacarku?"
Cipta yang sedang mengayuh sepedanya mendadak oleng.
"Eh, eh! Cipta!"
Lalu sepeda kembali stabil.
"Kamu kenapa sih?!" tanya Cipta sekali lagi.
"Jawab aja sih, kok susah."
"Kamu aja belum jawab pertanyaanku."
"Ya jawab dulu, nanti aku jawab!"
"Kenapa enggak kamu dulu, baru aku yang jawab?"
"Karena aku bakal jawab kalau kamu udah jawab!"
"Susah banget tinggal jawab aja!"
"Habis kamu enggak mau jawab!"
"Aah, pusing ah!"
"Kamu yang bikin pusing!"
"Kok?"
"Jawab aja sih!!"
"Enggak. Enggak mau. Puas?"
Aku tak menduga jawbannya akan negatif. Tiba-tiba aku merasa terhina. Ketika semua laki-laki mengejarku, Cipta menolakku. Serta merta aku berteriak dan mendorong punggungnya, menendang kakinya, menjambak rambutnya, mengacak-acak seluruh badannya yang tengah susah payah mengayuh sepeda di pinggir jalan. "Cipta jahat! Cipta jelek! Cipta bau! Cipta monyet!" tentu saja semua ejekan itu tak sungguh-sungguh.
"Nya! Diem dulu! Susah bawa sepedanya!"
"Bodo!"
"Anya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Jangan Saling Jatuh Cinta
Romance(Telah tersedia di Gramedia) Nantikan dalam bentuk series di Vidio.com! Pemenang Wattys 2020 "New Adult" - Ada waktu di mana hati harus menepi hanya oleh sebuah janji. Lihatlah pada kebodohan yang kami perbuat: mengatasnamakan cinta pada sebuah rasa...