[ 13 ] - Permaisuri Putih-Abu

30.1K 2.8K 67
                                    

Mungkin namaku masih memiliki kepanjangan di belakang nama Purnomo, tetapi agar mudah diingat dan tidak berbelit-belit, namaku yang pada akhirnya disematkan di akta kelahiran adalah Raden Bagas Purnomo. Kata Ayah, ia sendiri punya garis keturunan bangsawan Jawa yang mengarah pada kerajaan Mangkunegara, namun ia tak hafal susunan keluarga keraton yang sudah tentu rumit itu. Sedang aku, cuma tahu sebatas aku adalah anak ketiga—bungsu—dari pasangan suami istri Raden Bagus Ancaksono Poernomo dan Diyanti Ayu Wulandari. Dua kakakku semua laki-laki, keduanya sudah sama-sama berkeluarga dan mapan dengan cara mereka sendiri-sendiri. Mas Adi, putra pertama Bunda, berjarak dua belas tahun lebih tua, ia membangun bisnis makanan bersama istri dan kedua anaknya. Mas Cahyo berjarak tujuh tahun dariku, ia membangun karier sebagai pengelola trip pariwisata sejak kelulusannya dari sekolah tinggi pariwisata. Kini, perusahaan kecilnya mulai menyebar nama lintas kota, memenuhi kebutuhan hidup istri dan seorang anaknya.

Meski darah bangsawan mengalir di keluarga kami, bukan berarti kami masih bisa disebut para pangeran apalagi putra raja. Aku cuma tahu Ayah dan keluarganya mewarisi nama Poernomo yang dipunya oleh anak lelaki yang berhubungan darah langsung dengan silsilah Mangkunegara, dan nama itulah yang terus diwarisi sampai padaku.

Sekadar beri tahu, nih. Transformasi dari 'Poernomo' menjadi 'Purnomo' cuma ikut perkembangan zaman saja.

Sejak kecil, aku dibesarkan sebagai bungsu. Lebih dekat dengan Bunda ketimbang Ayah. Ayah bilang aku manja, tapi kalau memang Bunda yang bisa lebih buat nyaman, apa boleh buat? Berada di dekat Ayah, hidupku terbebani oleh petuah-petuahnya yang terus membandingkan diriku dengan kedua kakakku. Harus sehormat mereka, seluhur budi mereka, semapan mereka. "Kamu harus beri kebanggaan pada nama Purnomo. Kamu keturunan bangsawan, Bagas."

Mas Adi disenangi Bunda karena sering bantu-bantu di dapur, meskipun pada awalnya Ayah tak setuju. Ayah bilang, laki-laki bukan tempatnya di dapur. Tapi zaman berubah, dah setelah dibujuk Bunda dengan fakta perkembangan zaman sekarang, ia luluh. Mas Cahyo, senang bicara dan berkelana. Ia adalah kawan akrab Ayah kalau tamasya. Perlu kuakui, keluargaku mapan. Sangat. Kami orang berada, sehingga jalan-jalan kami adalah lintas kota dan negara. Kakak tengahku itulah yang paling jarang kena pukul Ayah. Karena mereka berdua cocok, sama-sama suka perjalanan.

Coba tebak, siapa yang paling sering?

Aku.

Aku anak paling ndableg dan buandel, kalau kata Ayah. Dan ia paling alergi pada anak yang sulit diatur. Kalau di SD, aku adalah jenis anak yang akan menyodorkan jebakan permen karet berisi kecoa mainan pada teman-teman. Tak tahu mengapa selalu tergelitik pada hal-hal yang melewati batas. Akan merasa tertantang jika dititah 'jangan', dan merasa menang kalau berhasil melampauinya, apalagi kalau tidak ketahuan. Aku pernah mencuri mangga tetangga, ketahuan, lalu dihadiahi cambuk betis sepuluh kali oleh Ayah. Aku sering melanggar aturan, tak heran adegan Ayah menampar pipiku adalah tontonan rutin seisi rumah, temasuk para pembantu.

Tak jarang aku dikurung di kamar mandi jika ketahuan melanggar aturan yang Ayah buat. Kadang-kadang, kudengar Bunda adu mulut dengan Ayah hanya karena ingin menyudahi hukumanku. "Kamu terlalu keras padanya!" bisik Bunda terdengar olehku di kamar mandi suatu kali.

Namun, sejak satu pukulan Ayah yang melukai pelipisku sampai memar melukai mata, aku tak pernah lagi membantah maupun melanggar perintah-perintahnya—kecuali tak ketahuan.

Penyebabnya ialah aku ketahuan merokok di belakang sekolah bersama segelintir kawan, ketika menjabat sebagai ketua OSIS SMP. Sekolahku melaporkan secara tertutup kepada orang tuaku, agar tak mempermalukanku. Tetapi di rumah, Ayah menganggap aku menghinakan nama keluarga, ketika menyandang gelar kepemimpinan pula—oh, lupa kusebut. Dia benci sekali rokok. Aneh—lalu gebukan itu menghantam. Karena itu pulalah kini aku harus mengenakan kacamata. Entah saraf mana yang ia rusak sampai-sampai mataku mendadak rabun jauh dua kali jarak pandang normal. Dan sejak itu, aku tak berani sekali pun merokok. Sampai SMA, kelas sepuluh. Aku tergoda oleh anak-anak tongkrongan, dan kembali merokok, tentu tanpa sepengetahuan Ayah atau siapa pun yang tak aku kehendaki.

Mari Jangan Saling Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang