Omong-omong soal kambing, ketika aku menduduki bangku kelas sembilan SMP, aku lebih sering singgah di kios perpustakaan lebih lama, dan pulang agak larut ke rumah. Namun, sore itu berbeda, aku langsung pulang ke rumah bersama sepeda bututku. Baru aku memarkirkannya di depan rumah, tiba-tiba saja Bapak menyusulku di belakang seraya menggiring seekor kambing dengan tali. Rupanya ia telah selesai menguli sebuah bangunan di perumahan dekat sawah besar, dan dihadiahi seekor kambing oleh pemiliknya.
"Bapak bawa kambing!" pekik Dalih, putra ketiga, adikku yang kedua.
Ratna tampak lebih girang memandang kambing putih yang tampak gemuk dan sehat itu. "Ratna kasih nama Wedus ya, Pak?"
Aku berkerut kening seketika. "Apaan sih. Itu sama aja kayak menamai kambing dengan nama Kambing."
"Emang kenapa sih, Bang?!"
"Ya, itu cuma bahasa Jawanya kambing."
"Suka-suka Ratna lah!"
"Namain Brandon aja!" celetuk Dalih dengan kepolosan luar biasa. Entah dari mana nama itu menyembul dalam kepalanya.
"Bapak namai Ganta saja, gimana?"
"Hus, Bapak!" Ibu menepak udara. Sebab, Ganta adalah nama adik kembarku yang laki-laki, ia anak keempat dari keluargaku.
Sebelum Ratna memberi timpalan yang lebih aneh lagi, matanya tiba-tiba tertarik ke arah belakangku, lalu ia berbisik padaku, "Itu siapa, Bang?"
Menanggapi pertanyaannya, aku menoleh tanpa curiga. Lalu betapa terkejutnya aku melihat seorang remaja perempuan dengan seragam sekolah yang sama denganku, tengah berdiri dengan rambut tergerai sepunggung, poni rata, sepatu mengilap, kaus kaki putih berkilau, dan ransel mahal. Hanya wajah putihnya yang tampak sedikit dekil oleh keringat.
Itu Anya.
Aku melotot dalam sergapan panik. Kuhampiri gadis itu hampir dengan ledakan marah. "Kamu ngapain di sini?!" bentakku berbisik.
Anya yang masih mengatur napas, menyeringai malu.
"Kamu ngikutin aku?! Anya—kamu naik apa?!"
"Bang Cipta!" Ibu memanggil dengan suara lantang. "Itu teman kamu? Ajak masuk dong, jangan dibiarkan depan gang begitu!"
Aku menoleh pada ibu dan Anya gusar. Lalu terpikir olehku bagaimana perasaannya mengetahui rumahku di perkampungan sebobrok, sekumuh, dan sekecil ini. Tetapi akhirnya aku menghela napas kalah. "Ayo masuk." Seraya melewati adik-adikku, aku memperkenalkan mereka satu-satu. "Ini Ratna, adikku yang paling tua. Kami berjarak tiga tahun." Lalu Dalih yang tampak celemotan sehabis makan es potong. "Ini Mardalih. Dia dua tahun di bawah Ratna. Terakhir, adik kembarku di dalam, Ganta dan Tata. Mereka empat tahun di bawah Dalih."
"Kembar?" tanya Anya terkejut.
Aku mengangguk.
"Laki-laki?"
"Laki-laki dan perempuan."
Kemudian kami melintasi ibu dan bapakku yang tengah ngaso di depan pintu rumah. Seraya memperkenalkan mereka, Anya salim. Ibu dan Bapak kentara betul terpukau oleh kenyataan bahwa aku berteman dengan anak orang kaya, dan anak orang kaya itu mau datang ke rumahku.
Lalu aku menggiringnya masuk. Anya tampak melihat sekeliling sekilas. Aku takkan berkata apa-apa soal keadaannya, sebab ya memang begini adanya. Selepas Anya menyapa adik kembarku yang masih berusia 6 tahun, ia duduk melipat lutut di atas tikar sederhana di ruang depan. "Sebentar, kubuatkan es teh manis."
"Enggak usah repot, Ta," sergahnya.
Aku hanya mendengkus tersenyum, untuk kemudian berlalu ke belakang dan kembali dengan segelas es teh manis.
"Terima kasih, Ciptaku yang baik." Ia cengar-cengir sesaat sebelum meneguk minuman itu hingga habis menyisa es yang berkelotak.
"Enggak usah repot, Ta," ulangku dengan nada mengejek. "Siapa yang suruh kamu ke sini?"
"Ih kok gitu sih."
Aku menghela napas. "Kalau kamu kelelahan di jalan, kehabisan ongkos, siapa mau tanggung jawab?"
"Habis, aku penasaran. Dari dulu kamu selalu menolak kalau aku mau main ke rumahmu. Ketika kutanya 'kenapa' kamu enggak pernah satu kali pun menjawab. Jadi, setelah belajar bareng di kios tadi, aku pura-pura menunggu angkot sampai kamu dan sepedamu menikung. Baru aku naik ojek dekat sana dan mengekormu kemana pun kamu mengarah. Ternyata rumahmu lumayan jauh dari sekolah ya, Ta. Kamu kok kuat sih naik sepeda?"
Aku memandang kedua matanya, masih tak percaya anak ini betul-betul berada di rumahku. "Kamu enggak terganggu sama keadaan rumahku?"
Anya menautkan alisnya, lalu menggeleng. "Kamu yang harus mulai ubah pola pikir di sini." Ia menyentuh dahiku dengan jari telunjuknya, lalu menoyor hingga kepalaku bergoyang. "Mamaku pernah bilang, rumah itu bukan perkara besar atau kecilnya, tetapi perkara isinya." Lalu toyoran Anya diikuti oleh Tata pada Ganta. Anya tertawa geli.
"Tata, enggak boleh," tegurku.
Aku kembali memandang Anya, tersenyum penuh rasa terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Jangan Saling Jatuh Cinta
Romance(Telah tersedia di Gramedia) Nantikan dalam bentuk series di Vidio.com! Pemenang Wattys 2020 "New Adult" - Ada waktu di mana hati harus menepi hanya oleh sebuah janji. Lihatlah pada kebodohan yang kami perbuat: mengatasnamakan cinta pada sebuah rasa...