[ 11 ] Surat Undangan

43.4K 7.1K 337
                                    

Semestinya, kehadiranku dapat dipastikan nihil di perpisahan kelas dua belas SMA Negeri 1 karena tak punya uang untuk membayar biayanya. Tetapi, sekitar tiga hari sebelum itu, Anya meneleponku, memaksaku untuk ikut perpisahan dengan dalih bahwa biayanya akan ditanggung kedua orang tuanya. "Titik!" titahnya untuk kemudian memutus telepon. Akhirnya aku melapor pada Ibu, dan meminta pendapatnya apakah aku lebih baik ikut atau bekerja di rumah.

Ibu membelai rambutku, lalu tiba-tiba saja ia menangis. "Bang," panggilnya di tengah napas yang terisak. "Terima kasih kamu masih memikirkan Ibu dan adik-adikmu. Tapi, Ibu benar-benar ingin kamu hidup sebagaimana teman-teman kamu. Jadi, ikutlah sana, biar adik-adikmu yang bantu Ibu di sini. Sekalipun kamu menuntut ilmu ke luar negeri, Ibu rela. Kamu harus bernasib lebih baik dari ibu dan bapakmu." Ia kemudian memelukku.

Aku balas memeluknya. Biasanya Ibu tak sesentimentil ini, barangkali ia sedang merindukan Bapak, dan aku tahu persis sikap dan wajahku sangat mirip dengan beliau, mungkin itulah yang mengingatkan Ibu pada Bapak kali ini.

Esok hari terakhir sekolah. Malam hari sebelum aku terlelap, telah kusiapkan tas kosong yang hanya berisi buku bacaan, air minum, dompet, dan surat undangan perpisahan sekolah. Malam itu aku pulang agak larut, sebab selepas petang, aku harus berkuli di pembangunan dekat rumah. Selepas aku mandi dan bersiap-siap tidur, kubuka lembaran itu. Kutatap kolom kosong tempat seharusnya adalah nama pasanganku di malam puncak.

Kuambil pulpen penuh debaran yang membahagiakan sekaligus menakutkan. Lalu kutulis nama Kanya Putri Purbasari di dalamnya. Perihal diterima atau tidak, itu urusan nanti. Lalu kumasukkan kembali ke dalam tas, untuk kemudian tertidur tanpa bisa terlelap nyenyak.

Hari berlalu dengan cepat. Ketika pulang sekolah, aku kembali memiliki kesempatan untuk mengantarnya pulang. Mungkin hanya perasaanku, tetapi Anya tampak begitu berbeda. Ia berjalan lebih anggun, bicara lebih lembut, dan lebih banyak tersenyum padaku. Aku tiba di depan rumahnya, singgah sebentar untuk mengucapkan terima kasih pada Pak Wisnu Candra dan Bu Maya alias May Ave atas kebaikan mereka membiayai perpisahanku. Setelahnya, aku pamit dan diantar Anya sampai ke depan pagar.

"Nya," panggilku dengan debaran jantung tak tertolong. Aku merogoh sesuatu dari dalam ranselku, lalu kukeluarkan surat undangan perpisahan. Aku menghampirinya dengan tangan gemetaran.

Anya memandang surat di tanganku seraya menyeka rambut hitamnya.

"Ini. Surat undangan perpisahan sekolah."

Anya lalu memandangku, turut gugup.

"Em ...." Aku menggaruk tengkuk kepalaku. Kambing. Kenapa sulitnya minta ampun?! Tetapi akhirnya aku berhasil menatap mata Anya yang juga sedang menatapku. "Anya, apa kamu mau jadi pasanganku di malam puncak?"

Rona merah menguar samar di pipi Anya. Ia tersenyum kaku dan ragu-ragu. Rasanya, ini benar-benar bukan aku dan Anya. Tujuh tahun kami berteman, tidak pernah sekalipun kami malu-malu satu sama lain sebagaimana sekarang.

Anya kemudian menerima surat tersebut, dan dengan senyum yang dikulum ia berucap, "Aku mau."

Hatiku meleleh. Aku tersenyum padanya dan mengangguk. "O-oke." Aku melepas tawa. Anya juga. "Kalau gitu, aku pamit ya."

"Oke." Anya masih tersenyum. "Hati-hati, Cipta."

Aku mengangguk dan segera tancap gas, bukan ke rumah, melainkan ke sawah. Lalu di sana, aku berteriak lantang sampai membuat para petani menoleh ketakutan mengira seseorang tengah kesurupan, tetapi aku tetap melepas sorak bahagiaku.

***

Mari Jangan Saling Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang