8. No, I Don't Want See That

12 6 0
                                    

Pria berjas putih itu menarik selimut berwarna pink sampai leher putrinya, mengecup lama kening gadis kecil menggemaskan itu.

"Nana-chan istirahat dulu ya, pasti Nana-chan lelah setelah bermain seharian dengan Wonjun Oppa, kan?" Minhee mengusap lembut kening Minami, gadis kecil itu mengangguk pelan.

"Tunggu sebentar ya. Appa harus memeriksa keadaan Wonjun dulu." Minhee berbalik, hendak meninggalkan Minami, namun tarikan pada bagian bawah jas yang ia kenakan menghentikan langkahnya.

Minhee berbalik kembali, menatap putri kecilnya dengan senyum lembut, meraih tangan mungilnya yang tadi menarik jas putihnya. Mengenggam lembut tangan mungil Minami.

"Ada apa Nana-chan?" tanya Minhee lembut, tangannya kembali mengusap rambut Minami yang kali ini dipotong sebahu.

Minami terlihat sedik ragu untuk berbicara kepada ayahnya. Tapi, gadis kecil itu harus menanyakannya sekarang.

"Eumm... Appa tidak marah kan?" pria Kang itu merenyitkan alisnya, menggeleng pelan meski dia tidak mengerti apa yang Minami katakan.

"Appa tidak akan memarahi Wonjun Oppa juga kan?"

Aahh... kali ini dia mengerti.

"Tidak, Appa tidak marah kok. Justru sebaliknya, Appa sangat senang karena sekarang Minami mempunyai teman untuk bermain jika Appa sedang bekerja." Minami tersenyum lebar. Lega rasanya mengetahui bahwa Ayahnya tidak memarahinya dan Wonjun.

"Nah, baiklah. Sekarang Appa harus memeriksa Wonjun dulu ya, Nana-chan tunggu disini." Minami mengangguk, menarik kembali selimutnya sampai leher.

Tersenyum lembut melihat putrinya yang hendak memejamkan mata. Sebelum meninggalkan kamar Minami, Appa muda itu mengecup kembali kening Minami.

"Argh..." pemuda Lee mengerang kesakitan, memegangi perutnya yang terasa nyeri. Jemarinya merasakan sesuatu yang basah pada baju yang ia kenakan.

"Hey, Wonjun kamu kenapa?" Hyaerin yang baru saja keluar dari kamar mandi segera menghampiri Wonjun yang tengah kesakitan diatas ranjangnya.

Wajah gadis itu terlihat khawatir dan cemas ketika melihat ada darah yang merembes dari balik piyama Wonjun.

"Ya Tuhan, perutmu berdarah..." pekik Hyaerin.

Ditengah kepanikan Hyaerin yang tak tau harus berbuat apa, pintu kamar rawat Wonjun tiba-tiba saja terbuka dan terlihat Minhee dari balik pintu.

"Wonjun kau kenapa?" mendengar Wonjun yang kembali mengerang kesakitan, Minhee segera saja menghampiri pemuda menggemaskan itu. Hyaerin menggeserkan tubuhnya— memberi ruang kepada pria itu.

Dengan segera Minhee menyimbak piyama merah muda yang dikenakan Wonjun. Terlihat darah merembes dari perban yang membungkus luka operasi usus buntunya. Membuka laci pada nakas yang tak jauh dari jangkauannya, lalu mengambil kotak putih— yang isinya peralatan jahit darurat.

"Jahitan bekas operasinya belum kering, karena Wonjun terlalu banyak bergerak jahitannya terbuka kembali dan jadi seperti ini." Dengan telaten, dia membersihkan darah yang sedikit mengalir dari luka bekas operasi Wonjun menggunakan kapas yang diberi alcohol sebelumnya.

"Tahan sebentar Wonjun-ah, ini akan terasa sakit." Minhee menjahit kembali luka yang sedikit terbuka.

Wonjun, pemuda itu terlihat meringis menahan sakit saat benda tajam itu menembus kulitnya. Sedangkan Hyaerin, dia hanya dapat menutup matanya karena sedikit ngeri melihat kulit seseorang yang dijahit seperti itu.

Tak membutuhkan waktu yang lama, Minhee telah menyelsaikan pekerjaannya— mengganti perban Wonjun dengan yang baru.

"Untuk saat ini kau jangan terlalu banyak bergerak dulu, jika kejadian ini kembali terulang akibatnya akan lebih buruk." Nasihat Minhee sembari membereskan peralatannya.

Because YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang