Part 1

86.9K 2.2K 18
                                    


Perkenalkan, namaku Amalia Khairunnisa berprofesi sebagai guru PAUD(Pendidikan Anak Usia Dini). Aku di kenal sebagai guru paling penyabar diantara yang lainnya, aku bekerja sebagai guru PAUD sudah satu tahun lamanya. Memang, pertamanya aku sering mengeluh dengan banyaknya tingkah anak-anak, namun lama kelamaan keluhanku menjadi rasa syukur dan bahagia. Meskipun guru PAUD di pandang sebelah mata dengan gaji yang pas-pasan, tapi aku menjalaninya lillahita'ala atau karena Allah, karena kalau semua di niatkan kepada Allah pasti ada rezekinya dan ada jalannya.


"Assalamualaikum anak-anak, Selamat pagi..." sapaku dengan seceria dan seramah mungkin di hadapan anak-anak yang beraktivitas berbagai macam.


"Waalaikumsalam, Bu Guru... Selamat Pagi kembali." teriak anak-anak serentak di dalam kelas. Aku tersenyum tipis, sesederhana itu membuatku melukis senyuman.


"Apakah kalian sudah siap untuk belajar?" teriakku sekali lagi dengan ceria.


Anak-anak kompak kembali menjawab. "Sudah siap, Bu Guru..."


Aku menyatukan tangan dan meraup di wajah. "Alhamdulillah... Sekarang kita berbaris ya..."



Aku mulai menuntun anak-anak untuk berbaris di depan kelas dengan menyanyikan yel-yel yang membangunkan semangat mereka. Tanpa mengeluh semua anak sudah berbaris rapi, ada beberapa yang harus aku tuntun dan luruskan. Sesekali menyahuti yel-yel yang di soraki anak-anak, aku berjalan memutar-mutar di sekeliling barisan untuk mengecek kerapian barisan anak-anak. Setelah selesai, aku berdiri di depan pintu kelas, anak-anak mulai berbaris memanjang untuk kegiatan salim setiap pagi, jadi sebelum masuk kelas setelah berbaris, mereka masuk ke dalam kelas dengan salim kepadaku terlebih dahulu.



"Semangat belajarnya anak-anak..."


"Jangan lupa baca doa. Jangan lupa senyum ya..."


"Belajar yang pintar."


Begitulah sapaanku setiap pagi kepada anak-anak, tak hanya menyalami mereka, terkadang aku mencium ubun-ubun dan pipi mereka bergantian.



"Bu Lia..." aku tersenyum lebar, Menyambut pelukan salah satu murid yang bulan-bulan ini sangat dekat denganku. Murid di kelas A yang kutahu memiliki kakak kembaran laki-laki yang bernama Khail, sedangkan gadis kecil yang tengah aku peluk ini bernama Khaira atau panggilannya Ara.



Khaira ini memiliki latar belakang broken home. Kedua orang tuanya terlibat masalah perceraian, dan kudengar bahwa Mama dari Khaira pergi jauh dan tidak mengurusi kedua anaknya ini, jadilah Papa mereka sebagai single parent yang mengurus anak-anak, kebutuhan rumah, dan pekerjaan. Aku terkadang prihatin melihatnya.



"Gimana tidurnya Ara? Nyenyak?" Tanyaku sehalus mungkin sambil merapikan kuncirannya Kunciran ini sudah tertebak bahwa kunciran buatan Papanya, karena ia setiap hari berceloteh bahwa ia selalu di kuncir oleh Papanya. Khaira mengangguk, membuat ujung-ujung kuncirannya bergoyang lucu. "Iya, Bu... Ara mimpi di peluk Mama." Jawabnya polos sambil tersenyum lebar. Mendengarnya membuatku semakin sedih, di usianya yang masih kecil ini ia jelasnya butuh figur seorang ibu.



"Wah, terus Ara senang dong?"


"Iya Bu Guru, Ara senang banget..." Tuturnya tak melepas seinci pun senyumannya. "Ara bawa bekal Bu Guru, Dibuat in sama Papa." Ia memamerkan kotak bekal berwarna merah muda di hadapanku. Aku tersenyum simpul dan mengusap rambutnya.


"Wah, nanti jangan lupa di makan ya... Yasudah sekarang masuk yuk, Semangat belajarnya ya..." Aku mengepalkan tangan berisyarat memberinya semangat.


Giliran, Khail yang menyalamiku, bocah laki-laki ini memiliki sifat tertutup dan pendiam, ia menghabiskan waktu istirahatnya terkadang di perpustakaan kecil di sudut taman bermain atau di kelas sendirian, sangat kontras dengan Khaira yang memiliki sifat ceria dan mudah berbaur.

Dear Husband [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang