Part 5

37.7K 1.7K 13
                                    

Aku menggigit bibir bawahku gugup, aku sekarang sedang berada di dalam kamar, aku tidak menunggu Pak Bara dan langsung pulang begitu saja, setelah salat dhuhur tadi aku mengubah pikiranku untuk menolak tawarannya agar dapat membelikanku ponsel baru, entah kenapa hatiku menolak mentah alih-alih aku juga menghindarinya karena tidak mau lebih dalam lagi suka padanya. Seseorang yang tidak dapat di raih tapi aku paksakan untuk meraihnya, sangat mustahil, lebih baik mundur teratur daripada sakit hati di ujungnya. Ya, aku mengakui mencintainya secepat ini. Sebelum-sebelumnya juga banyak yang mendekatiku semasa kuliah dulu, namun hanya batas suka saja tidak sampai menjerumus cinta, karena dulu aku sudah trauma cinta-cintaan karena di tinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Tok tok tok...

Suara pintu di ketuk dari luar membuatku beranjak dari kasur dengan malas-malasan.

"Dek... Ada yang nyariin tuh!" Teriak Mas Rio di luar pintu, aku langsung beranjak, pasti itu Pak Bara, aku sudah menduganya ia akan mendatangi rumahku. Tanganku menyambar kerudung instan dan segera memakainya. Setelah memakai kerudung dan melaburkan bedak agar tidak kusam wajahku, langsung saja menuju ke ruang tamu, benar saja ada Pak Bara bersama dua kembar yang tengah bergelayut manja di lengan papanya, sedangkan Pak Bara berbincang-bincang dengan Mas Rio, Mas Rio sendiri sedang memangku Azam.

"Mas... Siniin Azamnya" Mas Rio berdiri dan menaruh Azam pada pahaku, bocah kecil ini sudah anteng di pangkuanku.

"Kamu jaga dulu, dek... Mas mau salat asar, kamu udah salat asar kan?" Tanya Mas Rio.

Kepalaku mengangguk. "Iya udah."


Ruang tamu yang ku singgahi hanya ada suara perdebatan Khaira dan Khail, sedangkan aku dan Pak Bara hanya diam saja, aku membisu di tepat dengan memainkan jemari Azam yang tengah terlelap di pelukanku. Mataku meliriknya yang sedang menyodorkan sebuah paper bag berwarna emas dengan pita berwarna perak yang mencuri perhatian. Pak Bara menyodorkan paper bag padaku dan aku menerimanya ragu-ragu.

"Buat saya?" tanyaku sambil memutar-mutar isi yang berada di dalam paper bag, ternyata isinya juga persegi panjang berbalut kertas kado berwarna biru dengan motif polkadot. Ia mengangguk.

"Boleh saya buka?" tanyaku sekali lagi.

"Silahkan." jawabnya singkat. Langsung saja aku membuka dengan hati-hati, tentunya susah karena sekarang Azam tengah tertidur di pangkuanku.

Setelah terbuka, mataku membola, mulutku menganga dan tanganku menyentuh jantungku yang berdebar. Ini...

Ponsel dengan merek terkenal yang sedang marak-maraknya ditahun ini, dua kotak tersebut berisi ponsel dengan warna yang berbeda.

"Ini... Saya tidak tahu selera kamu seperti apa, saya di rekomendasikan oleh sekretaris saya." Ucapnya kaku dengan wajah datarnya. "Dan sampaikan maaf saya untuk suami kamu tadi karena sudah membuat rusak handphone kamu."

Keningku berkernyit heran, sejak kapan aku memiliki suami. "Suami? sejak kapan saya punya suami, hahaha..." aku tertawa renyah tetapi agak pelan agar Azam tidak terbangun.

"Yang tadi... Dan ini? Bukannya anak kamu?" Pak Bara menaikkan alinya heran. Matanya mengerjap-ngerjap begitu polos. Jadi selama ini Pak Bara salah paham bahwa Mas Rio adalah suamiku dan Azam adalah anak kandungku.

"Bukan, Mas Rio itu kakak kandung saya, dan ini ponakan saya, gila aja usia dua puluh dua tahun gini udah punya anak, memangnya saya nikahnya setelah lulus SMA?" tanyaku sambil mencium pipi gembul Azam, membuat bocah kecil itu menggeliat. Aku hanya tertawa saja menanggapi kesalah pahaman dari Pak Bara.

"Jadi selama ini saya salah paham? saya sampai mengutuk diri sendiri karena suka pada istri orang, dan ternyata..." Pak Bara mengusap wajahnya kasar. Namun tiba-tiba tubuhku menegang, ucapan nya barusan itu membuat pikiran ku tergugah.

"Bapak suka sama istri orang siapa?" tanyaku sambil mencoba untuk berpikir keras dari ucapan Pak Bara.

Pak Bara mengangguk kan kepalanya. "Iya, saya kira kamu itu punya suami, ya jujur saja saya suka kamu, tapi mengetahui kamu sudah berkeluarga saya jadi menjaga jarak, niat saya untuk melamar kamu jadi tertunda karena ternyata kamu sudah punya suami dan itu ternyata hanya salah paham saja." Jelasnya membuatku melongo, jadi selama ini dia suka sama aku? serius? tidak! Ini pasti mimpi. Tangan ku naik untuk menampar dan mencubit pipiku sendiri. Dan ini sangat sakit, berarti ini nyata. Tapi aku masih tidak percaya.

Jemariku memilin-milin ujung kerudung instan ku. "Jadi selama ini... Bapak suka saya?" ucapku terbata-bata sambil menunduk, meneguk ludah saja susahnya luar biasa.

Kepalanya mengangguk kecil. Dan hal itu membuatku mengerjapkan mata tak percaya, ini pasti mimpi. "Iya, saya suka sama kamu, namun lebih tepatnya cinta, dari dulu saya menganggap cinta pada pandangan pertama itu tidak ada, namun sejak bertemu dengan kamu ternyata memang benar adanya." Jelasnya panjang lebar. Ternyata orang dingin dan datar bisa juga menggombal ya, bukan gombalan receh namun gombalan yang dapat membuat lututku lemas seperti tak bersendi.

"Rencananya kemarin saya mau membawa orang tua saya untuk melamar ke rumah kamu, namun batal karena kesalah pahaman, dan sekarang semuanya sudah jelas, jadi ya..." Pak Bara menggaruk tengkuknya. Ini Pak Bara bukan sih? kok bucin gini? aku bahkan menatap Pak Bara seperti menatap hantu di siang bolong, tak percaya sungguh tak percaya.

"Ini... Bukan Pak Bara kan?" cicitku spontan sambil melongo, masih terkejut saja tiba-tiba ia aktif berbicara. Biasanya ia akan berbicara seperlunya atau tidak aku yang memancingnya terlebih dahulu. Seperti bukan Pak Bara yang kukenal selama beberapa minggu ini, bedanya ia aktif berbicara dengan menyunggingkan senyum kecilnya, yang dapat membuat oksigen serasa menipis, ingin rasanya mencak-mencak terpesona dengan ketampanannya, namun aku harus jaim atau jaga image.

Pak Bara tersenyum kecil. "Ini saya Bara Atmadja. Calon imam kamu."

Glek.

Aku menelan ludah kasar, antara percaya dan senang, antara baper dan kagum, siapa sih yang nggak baper di gituin? Kalau sekedar chat saja tidak mempan, kalau di depan mata kepala sendiri? Kagum saat mengetahui bahwa sekalinya pria dingin nan datar kalau sudah bucin bikin seseorang rasanya di terbangkan di langit ke tujuh. Reaksi jantungku sudah seperti lomba lari maraton, berdetak kencang terlebih saat ia mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari sakunya, kemudian ia membuka dan menyodorkan kearahku.

"Maukah kau menjadi istri serta ibu dari anak-anakku, Lia?"



*

Aduh gak bisa bayangin kalau jadi Lia yang kemaren mimpi dilamar sekarang beneran😭. Jangan lupa vote untuk yang belum vote, jangan sampai ketinggalan partnya ya, sewaktu-waktu aku tarik lagi jika Dear Husband dipindahkan diplatform lain😇.

See You...



Dear Husband [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang