Kala, hanya sesak ketika mendengar nama itu. Seseorang seterang mentari yang tak pernah sedetik pun enyah dari hatiku. Begitu bodohnya aku jika mengingat 8 tahun lalu. Aku yang hanya bisa terduduk lemas tak berdaya saat itu. Kata-katanya sungguh menyayat hatiku. Meskipun sejujurnya aku sudah tahu segalanya. Tentang gadis secantik melati, tentang senyum manis yang Kala tunjukkan untuk gadis itu. Saat itu, aku sedang di sebuah kafe untuk membahas proyek seminar menulis untuk remaja dengan beberapa kader dan kolega setelah pulang dari kampus.
Kulihat dia dengan gadis itu berboncengan dengan motor kesayangan Kala dan helm kesayanganku. Mereka sangat mesra dan aku merasa apiku akan segera dipadamkan oleh Kala. Dan benar, duniaku sangat hancur. Setelah kepergiannya aku didiagnosis menderita Thalasemia.
Sungguh aku tak kuasa menahan ini semua. Namun, aku hanya diam membisa dan mencoba menanggung semuanya sendiri. Meski sakit semakin kusibukkan diriku agar tak lagi mengingatnya. Hingga, sebuah ide aneh datang di pikiranku. Iya, aku ingin membangun sebuah rumah bagi anak-anak yang kurang beruntung agar aku tak kesepian. Karena aku tahu Kala tak akan terganti oleh orang lain. Aku bekerja keras agar bisa mengimbangi kuliahku dan mengumpulkan uang untuk membangun rumah itu. Hingga sebuah undangan datang dihidupku.
Tok tok tok
"Neng Aruna, itu ada temennya Eneng katanya mau nganterin undangan" kata Ibu Kostku
"Iya buk, bentaaar" kataku sambil tergesa-gesa. Kulihat seorang laki-laki yang familier bagiku.
Iya, dia Vando sahabat karib Kala. Ia telah duduk dan memandangku iba. Hei, aku tak butuh pandangan itu. Aku kuat kok.
"Eh, Van ada apa?" Tanyaku basa-basi
"Kayaknya kamu udah tau deh kenapa aku kesini" katanya dengan berat.
"Iya aku tahu kok, mana undangannya. Mau aku pajang buat di kamarku. Biar jadi motivasi biar cepet dapet jodoh juga" kataku sambil tertawa
"Kuharap kamu baik-baik aja Run. Maafin si Kampret satu itu ya. By the way aku ngga bisa lama-lama masih banyak yang harus dianter nih" katanya lagi dan aku hanya bisa mengangguk dan menyuguhkan senyum terbaikku.
Sungguh aku tak baik-baik saja. Secepat kilat aku masuk kembali ke kamarku.
Dan saat itulah air mata sial ini kembali turun. Hei, Semesta tak tahukah kau bahwa Kama adalah duniaku? Tak tahukah kamu dialah alasanku hidup? Mengapa harus sekarang?